Bab 17 - Pameran Muka Jelek

328 59 0
                                    

“PAGI tadi itu apa?” Yogi menjejeri langkah Moka. Kebetulan Moka lewat di depan kelasnya bersamaan dengan Yogi yang hendak keluar kelas. Yogi mempercepat jalannya supaya bisa menyusul Moka. Sepintas Yogi bisa merasakan pandangan siswa-siswi yang mengarah padanya. Mungkin karena sudah terbiasa, makanya dia tidak terlalu terganggu seperti saat pertama dia mendatangi kelas Moka.
Baru kali ini Yogi benar-benar memperhatikan Moka. Cewek itu terlihat cantik dilihat dari arah mana pun. Padahal sudah siang, tapi wajah Moka masih terlihat cantik dan segar sama seperti pagi tadi. Dia memang sosok idola. Makanya kemunculan wajah Moka di Instagram Yogi menjadi pembicaraan cukup hangat di kalangan murid-murid. Sepagian tadi dia sudah menjawab berpuluh pertanyaan yang hampir sama. Bukan hanya dari teman seangkatannya tapi juga dari kakak kelasnya. Beberapa menasehati Yogi untuk menghindar dari Moka sebelum dimanfaatkan. Mereka menyayangkan cowok dengan peringkat tertinggi saat penerimaan siswa harus jatuh dalam perangkap Moka. Yogi menanggapi dengan kekehan. Dia tahu kalau sedang dimanfaatkan Moka tapi dia juga memanfaatkan Moka. Mereka impas.
Sementara dua temannya, fans Moka garis keras, malah menyuruh Yogi untuk menaklukkan Moka. Tak lupa mereka meminta Yogi untuk mengirimi foto Moka secara diam-diam. Tentu saja Yogi menolak. Bisa-bisa Moka mengolok-oloknya kalau tahu Yogi memfotonya tanpa izin.
Moka menoleh sebentar. Mereka menuruni tangga bersama.
“Kenapa lo nggak tanya sama teman sekelas lo?”
Sikap acuh tak acuh Moka tetap sama. Yogi salut pada pembawaan tenang dari Moka. Cewek itu menganggap segala sesuatu itu tampak enteng. Sama seperti ketika Moka mendengar ceritanya mengenai Rika. Dalam beberapa aspek, Yogi sadar kalau dia kalah keren dari Moka.
“Gue nggak kenal dekat dengan Vara, nggak mungkin tiba-tiba tanya.”
“Lalu apa bedanya sama gue? Kita juga nggak kenal dekat,” tukas Moka.
“Paling nggak, gue lebih banyak ngobrol sama lo ketimbang Vara. Dan tadi lo duluan yang telepon gue.”
Setelah beberapa kali menghabiskan waktu dengan Moka, Yogi menyadari bahwa meminta sebuah informasi pada Moka adalah suatu hal yang gampang-gampang susah. Moka suka mengungkapkan argumen-argumen yang membuatnya tidak perlu menjawab pertanyaan Yogi. Sepertinya cewek itu cukup perhitungan juga tentang apa yang keluar dari mulutnya.
Moka menatap ke depan. Mereka menyusuri lorong kelas di lantai dasar yang mengarah ke halaman depan. “Gue paling nggak suka dengan orang yang sok berkuasa, Gi. Dan teman sekelas lo tadi itu masuk dalam kategori itu. Ya udah, gue kerjain aja sekalian.” Moka mengedikkan bahunya.
Yogi mengangguk-angguk. “Jadi lo hutang satu kali telepon sama gue.”
Seketika Moka berhenti, membuat Yogi membatalkan kakinya yang sudah terayun ke depan. Moka menghadap pada Yogi, mengangkat kedua alisnya, lalu detik kemudian tertawa lepas. Moka menepuk bahu Yogi sebanyak tiga kali. “Orang pintar itu beda ya. Cepat belajar.”
Yogi masih bergeming memikirkan arti ucapan Moka, ketika cewek itu sudah melanjutkan langkahnya dan mengucapkan sampai jumpa pada Yogi. Arah pulangnya lurus menuju ke gerbang depan tapi Yogi harus berbelok untuk ke tempat parkir.
Yogi langsung teringat pada satu hal yang lebih penting untuk ditanyakan ketimbang masalah Vara. Maka dia segera menahan Moka supaya tidak melangkah semakin jauh.
“Mo!”
Moka berhenti lalu berbalik. Dia memandang Yogi dengan wajah datar.
“Gue antar pulang.” Sekolah bukan tempat yang nyaman untuk mengajukan pertanyaan yang ditahan Yogi sejak pagi tadi.
Tanpa pikir panjang Moka mengangguk. Beriringan, mereka melangkah menuju ke tempat parkir.

**

“Rencana lo nggak ada hasilnya. Nggak ada respon satu pun dari Rika. Gimana, Mo?”
Saat ini mereka sedang berada di teras rumah Moka. Akhirnya Yogi mengeluarkan hal yang sudah menganggu pikirannya sepagi tadi. Berulang kali dia mengecek ponsel padahal biasanya Yogi lupa menaruh ponsel. Temannya mengira Yogi menunggu pesan dari Moka padahal dia sedang berharap ada pesan dari Rika. Makanya ketika ditelepon Moka, Yogi langsung menjawab.
Moka mengangkat kaki ke atas kursi rotan lalu melipat keduanya. Dia sudah mengganti seragamnya dengan baju rumahan sehingga lebih nyaman. “Semua butuh proses, Gi. Nggak bisa langsung instan. Butuh waktu. Sama seperti saat lo ngajarin gue Matematika, lo harus pukul kepala gue berulang kali supaya gue ngerti.” Setiap adegan di kamar kos Yogi saat itu masih terekam dengan jelas di benak Moka. Dia tidak akan melupakan setiap detik di mana Yogi mempermalukannya dan semena-mena padanya.
“Kalian bicara apa? Yogi, ngajarin anak Tante ini Matematika?” Ibunya Moka muncul di teras dengan membawa nampan berisi dua gelas sirup. Ditaruhnya gelas itu di meja.
“Aduh, Tan. Jadi ngerepotin.”
“Nggak repot. Moka aja yang keterlaluan. Ada temannya kok nggak dibuatkan minuman. Diminum lho, Yogi.” Ibunya duduk di kursi rotan dekat Moka.
Moka memutar kedua bola matanya. “Yogi nggak lama, Bu,” sahut Moka.
Ibunya menjawab dengan decakan. “Nggak sopan. Niru siapa kamu itu?” tegur ibunya. Kemudian ibunya menoleh pada Yogi dan tersenyum hangat. “Yogi ini teman cowok pertama yang dibawa ke rumah lho. Sebelum-sebelumnya cuman ngantar aja di depan gerbang, nggak ada yang dibawa masuk sama Moka.”
Yogi menjawab dengan senyum kikuk. “Oh, gitu ya, Tan?” Dia melirik sebentar pada Moka.
“Jadi gimana tadi? Yogi bantuin Moka belajar?” Ibunya tampak penasaran dengan pembicaraan Yogi dan Moka.
“Iya, sedikit, Tan.”
“Tante tenang jadinya kalau ada yang bantu. Mulanya Tante mau masukin Moka ke bimbingan belajar tapi Moka menolak. Minta tolong ya, Yogi.”
“Iya, Tan.” Sekali lagi Yogi melirik pada Moka yang sepertinya menutup telinga dengan pembicaraan antara ibunya dan Yogi.
Setelahnya ibunya Yogi pamit untuk masuk ke rumah.
“Nyokap lo ramah, sedangkan lo… ah, sudahlah,” komentar Yogi.
Moka berdecak. “Nggak usah ngomongin nyokap gue deh. Balik ke urusan lo tadi. Intinya, kita harus pelan-pelan dan sabar. Lo nggak bisa langsung dapat respon seperti yang lo mau. Rika juga punya ego dan harga diri yang tinggi. Jadi lo harus bisa tunjukin kalau lo udah bahagia setelah pacaran sama gue.” Moka menoleh pada Yogi. Di saat yang bersamaan, Yogi juga sedang memandangnya. Mereka berpandangan selama beberapa detik. Aura di sekitar mereka tiba-tiba menjadi aneh. Moka berdeham-deham lalu mengalihkan pandangan ke pagar rumah.
“Kalau begitu, apa gue harus meng-upload foto kita lagi sekarang? Kalau diingat-ingat, gue nggak pernah mengambil foto Rika ketika dia dalam keadaan kucel kayak lo sekarang.”
Mata Moka membulat. “Apa? Kucel? Kurang ajar lo!” Moka ingin marah tapi dia malah dapat ide. “Gimana kalau kita foto wajah jelek?”
Yogi berpikir sebentar lalu mengangguk. “Boleh. Muka jelek yang kayak gimana?”
“Gini.” Moka menekan kedua pipinya dengan jempol dan telunjuk sehingga bibirnya moyong ke depan seperti bibir bebek.
Yogi terkekeh. “Oke.”
Dia mengeluarkan ponselnya. Tangan Moka terulur untuk menekan pipi Yogi. Dengan tanggap, Yogi mengerti maksud Moka. Dia melakukan hal yang sama pada Moka. Jadilah mereka berpose di depan kamera Yogi. Setelah Yogi menekan tombol kamera, pose muka jelek mereka terpampang di layar ponsel Yogi. Moka yang penasaran pada hasilnya, mendekatkan kepala pada Yogi. Kemudian mereka tertawa geli melihat wajah masing-masing.
“Muka lo….” Mereka menoleh secara bersamaan. Jarak antara kepala mereka cukup dekat hingga sontak Moka menarik kepalanya supaya menjauh.
Yogi berdeham-deham. “Gue upload di Instagram ya.”
Moka menjawab dengan anggukan kepala. Dia menunduk, memandangi kedua kakinya yang terayun.

**

Gold DiggerWhere stories live. Discover now