Bab 6 - Fatamorgana

460 63 2
                                    


KELOPAK mata Yogi melebar ketika melihat sosok yang baru saja lewat di pinggir lapangan basket. Dia mengenali cewek berambut seleher yang melenggang acuh tak acuh di sana. Baru kemarin dia bertemu cewek itu dan sama sekali tidak menyangka kalau cewek itu akan muncul di sekolahnya. Satu pemahaman muncul kemudian. Mereka satu sekolahan.


Kepala Yogi bergerak mengikuti langkah cewek itu. Dia berjalan dengan santai tanpa ada hambatan. Seolah di jalan setapak pinggir lapangan itu ada karpet merah terbentang yang dikhususkan untuknya. Padahal beberapa cewek yang duduk di sana tampak berbisik dan menoleh padanya, pandangan cewek itu tetap lurus ke depan. Benar-benar tidak peduli dengan sekitarnya.


Lalu dia mendengar teman-temannya menggumamkan nama cewek itu.


"Moka, bro. Moka."


Kemudian terdengar siulan pelan dari teman-temannya.


Barulah Yogi tersadar. Moka, nama itu memang sering muncul ketika teman-temannya membicarakan tentang cewek-cewek di sekolah mereka. Dan dia juga teringat bahwa Moka itu menduduki peringkat teratas cewek tercantik di antara kelas 1. Teman-temannya yang kurang kerjaan itu memang kerap kali membuat daftar peringkat cewek-cewek cantik di sekolahan. Yogi tidak menyangka Moka yang mereka maksud dan Moka yang baru saja dikenalnya merupakan orang yang sama.


"Dia benar-benar fatamorgana di padang tandus ya. Indah dilihat dari kejauhan."


"Bahasa lo, Man."


"Dia itu nggak nyata buat gue," keluh Arman.


Yogi menyenggol lengan Arman. "Man," panggilnya. "Jadi itu namanya Moka? Yang sering kalian bicarakan?" Dengan dagunya, Yogi menunjuk Moka yang kini berjalan di koridor laboratorium seberang lapangan basket.


Arman dan Febri berekspresi sama seperti saat Yogi melihat Moka di sekolahnya. Kedua pasang mata mereka melotot. "Selama ini lo nggak tau Moka itu yang mana? Yogi... Yogi.... Where have you been? Kita udah sebulan lebih sekolah di sini, udah saatnya berburu cewek-cewek cantik."


Yogi menggeleng. "Gue nggak minat buat tahu Moka kalian itu." Selama ini satu-satunya cewek yang memenuhi pikirannya hanyalah Rika jadi Yogi acuh pada yang lainnya. Dia tidak pernah ikut jika Arman dan Febri mulai membicarakan cewek-cewek cantik di sekolah mereka.


"Terus kenapa sekarang lo tanya-tanya soal Moka? Udah mulai minat?" selidik Febri.


Yogi mengangkat bahunya. "Nggak juga. Gue kemarin kebetulan ketemu dia."


"Di mana?" kejar Arman.


"Di taman. Sekilas aja, dia lagi sama cowok." Yogi tidak berniat bercerita lebih detil mengenai kejadian Sabtu kemarin yang melibatkan Moka dan dirinya. Dia tidak mau teman-temannya mengorek lebih jauh. Apalagi Arman dan Febri jelas-jelas berminat pada Moka, sudah pasti mereka sangat penasaran.


"Siapa?"


"Nggak tahu." Yogi mengangkat bahunya lagi.


"Nggak heran gue kalau Moka jalan sama cowok," gumam Febri.


Pandangan Yogi kembali pada koridor tempat terakhir kali dia melihat Moka. Cewek itu sudah tidak ada. Mungkin sudah masuk ke kelasnya.


Tiba-tiba Arman menepuk bahu Yogi. "Moka itu memang cantik. Nggak ada yang bisa bantah. Tapi," Arman menggeleng pelan, "lo harus hati-hati. Sekali lo ngedeketin Moka, lo bakal jadi korbannya."


Sontak kedua alis Yogi menyatu. Dia menuntut penjelasan lebih lanjut.


"Matre, bro," jelas Arman. "Sekali jalan sama Moka, siap-siap aja diporotin duit lo!"


Bola mata Yogi bergerak ke atas. Dia berpikir. Kalau meminta ganti uang taksi disebut morotin, rasanya, dia sudah jadi korbannya. Namun, bagi Yogi itu masih wajar. Cewek itu tidak meminta uang tanpa alasan.


"Kenapa lo bisa ngomong gitu, Man? Lo juga pernah diporotin?"


Arman tergelak. "Gue? Gue jauh dari kriteria cowok yang boleh ngajak jalan Moka. Cewek itu pilih-pilih teman jalan juga, Gi. Ada rumor, kalau nggak tajir, mana mau dia diajak jalan. Dari awal gue udah perhatiin dia, Gi. Dan rumor itu bener."


"Jadi itu masih pendapat lo kan, Man."


Febri menatap Yogi curiga. "Lo kenapa, Gi? Kok kayaknya ngebelain Moka."


Karena ucapan Febri yang masuk akal itu, Arman ikut curiga. "Lo naksir Moka, Gi?"


"Nggak," jawab Yogi singkat. Namun jawaban itu tidak cukup untuk membuat Febri dan Arman puas.


"Gue bisa ngerti kalau lo juga naksir sama Moka di pandangan pertama."


Seketika Yogi menoleh pada Arman. "Gue nggak naksir."


Arman melanjutkan kalimatnya, tidak peduli pada Yogi yang tampak ingin protes. "Lo lumayan tajir, Gi. Jadi Moka pasti mau kalau lo ajak jalan. Tapi satu hal, lo harus hati-hati. Jangan sampai terjebak, Moka cuma main-main aja. Makanya gue tadi bilang, dia itu cuma indah dipandang mata aja."


Kali ini ingatan Yogi terlempar pada saat Moka menendang kaki cowok yang bersamanya. Rasanya apa yang dikatakan Arman berbeda. Dari pandangannya, bukan Moka yang bermain-main, justru cowok itu yang mau main-main dengan Moka makanya Moka menendang cowok itu.


"Jadi, gimana, Gi? Tertantang untuk ngedeketin Moka?" tanya Febri.


"Gue nggak naksir sama Moka, jadi buat apa gue ngedeketin?" sanggah Yogi.


Arman menepuk bahunya dua kali. "Ya, siapa tau aja, Gi."


Yogi berkata jujur. Dia sama sekali tidak tiba-tiba naksir pada Moka setelah Moka menolongnya Sabtu sore itu. Dia hanya merasa bersalah pada Moka karena sikapnya yang tidak baik di pertemuan terakhir mereka. Setelah dipikir-pikir, Yogi bertingkah kekanak-kanakan. Moka sudah berbaik hati menolongnya saat hampir pingsan di taman. Lalu Moka juga mau repot-repot mengantar ponselnya ke kos, walaupun itu juga karena tas Moka tertinggal di rumah Tante Nanik. Moka tidak berbuat macam-macam, dia hanya bertanya hal untuk basa-basi tapi Yogi meninggalkannya tanpa kata-kata. Moka pun memilih segera pulang tanpa berpamitan padanya.


Yogi malu pada dirinya sendiri. Dia cowok tapi sikapnya seperti cewek yang sangat sensitif.


Sepulang Moka dari kosnya kemarin, Yogi sibuk mengulang adegan di teras kosnya. Dia menimbang-nimbang apakah dia harus menghubungi Moka untuk meminta maaf atau tidak. Yang dilakukannya hanya berputar-putar di kamar kos, mengetik sebaris kalimat di layar ponsel, menghapusnya, mengganti dengan kalimat lain, dan menghapusnya lagi. Pada akhirnya tidak ada satu pun pesan yang terkirim untuk Moka.


Hingga dia menemukan Moka di sekolahnya. Lalu, rasa bersalah itu timbul lagi.



**


Gold DiggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang