Bab 9 - Sebuah Ide

377 63 10
                                    

Emy menahan tangan Moka ketika cewek itu sudah berdiri dan bersiap mencangklong tasnya. Dengan mendongak, dia memanggil Moka. “Tunggu, Mo. Ada yang mau gue tanyain.”
Moka menoleh. Mau nggak mau dia menghentikan gerakannya lalu kembali duduk di kursi. “Apa, Em?”
Emy mengedarkan pandangan ke penjuru kelas. Teman-teman sekelasnya semua melakukan gerakan yang sama: merapikan meja dan bersiap pulang. Emy menggigit bibir bawahnya. Dia ingin bertanya sesuatu tapi takut ada yang mendengar obrolan mereka. “Tunggu sampai teman-teman lain pulang dan kelas agak sepi ya, Mo.”
“Kantin aja kalau gitu,” usul Moka.
Emy segera menggeleng. “Di sana ramai kalau jam-jam pulang gini.”
“Benar juga,” gumam Moka. “Kenapa harus di tempat yang sepi sih?”
“Nanti juga lo tahu.”
Moka mengerutkan keningnya tapi tidak bertanya lebih lanjut.
Beberapa teman sekelas mereka mengajak Emy dan Moka untuk pulang. Emy beralasan dia belum selesai mencatat pelajaran dan dia menunjuk mejanya yang masih berantakan. Moka ikut menatap meja Emy dan dia kini tahu mengapa Emy sengaja tidak merapikan buku dan alat tulisnya setelah bel berbunyi.
Sesaat setelah kelas sepi, Emy memutar tubuhnya sehingga sekarang dia sepenuhnya menghadap pada Moka. “Sejak kapan lo kenal Yogi?”
Moka segera mengerti arah pembicaraan mereka. Dia membuka mulut dan mengucapkan ‘aaa’ panjang seraya berpikir apakah sebaiknya dia cerita soal Sabtu sore kemarin atau tidak.
“Jangan ngebohongin gue, Mo. Gue tau banget kalau lo mulai mikir gitu pasti lagi nyari-nyari kebohongan.” Emy dengan tanpa perasaan memotong waktu berpikir Moka.
Itulah yang tidak disukai Moka dari Emy. Karena mereka sudah mengenal sejak awal SMP, Emy sudah hapal kebiasaan Moka. Jadi dengan mudah dia menebak isi otak Moka.
Bibir Moka mengerucut. “Baru kenal Sabtu kemarin,” akunya. “Gue nggak sengaja nemu Yogi di taman dan gue tolongin dia yang hampir pingsan karena kehujanan.”
Gantikan mulut Emy terbuka lebar. “Lo nggak lagi bikin skenario FTV kan?”
Moka mengedikkan bahu. “Terserah lo mau percaya apa nggak. Lagipula kenapa sih lo sampai kayak gini, nyari tempat sepi buat nanyain Yogi. Yogi doang gitu!”
“Lagi-lagi lo nggak sadar kalau lo udah bikin anak-anak kelas satu heboh?”
Moka memutar bola matanya ke atas. Sadar sih, tapi dia tidak ambil pusing. Yogi doang gitu. Si cowok sensitif itu. What’s the matter?
“Sumpah, gue pun nggak nyangka kalau gue satu sekolahan sama orang-orang norak,” ucapnya sadis.
Emy mengabaikan kalimat pedas Moka. “Lo tau siapa Yogi?”
Moka pura-pura kaget. “Anak presiden?”
“Gue serius, Mo.”
Moka tetap mendengarkan tanpa minat.
Emy menyerah. Akhirnya dia menjelaskan identitas Yogi tanpa diminta. “Yogi itu pas penerimaan murid baru angkatan kita… dia peringkat 1.”
Barulah Moka menunjukkan tanda ketertarikan pada cerita Emy. “Serius lo? Peringkat 1? Berarti nilainya paling banyak kan?” ucapnya tiba-tiba jadi bodoh. Kejutan baru. Dia tidak mengira cowok nyinyir dan super sensitif itu ternyata punya otak yang encer.
“Menurut lo? Jadi gimana cewek-cewek nggak heboh kalau lihat cowok ganteng, tajir, dan paling pinter sesekolahan, eh di kalangan anak kelas satu, tiba-tiba nyari lo? Lo mau dimusuhin cewek-cewek satu sekolahan, Mo? Kalian ada hubungan apa? Lo nggak lagi main-main sama dia kan, Mo?” Emy menatap khawatir pada temannya.
Moka tersenyum penuh arti. Dia teringat permintaan Yogi barusan. Yogi meminta bantuan pada Moka. Walaupun Moka belum tahu dengan pasti bantuan apa yang diminta Yogi, tapi rasanya Moka mendapatkan ide cemerlang.
“Gue nggak main-main. Gue cuman sedang mempraktekkan simbiosis mutualisme,” ucap Moka dengan misterius.
“Mo… lo tau? Kayaknya Vara suka sama Yogi.”
Vara suka sama Yogi? Rasanya Moka makin merasa tertantang. Kali ini pasti menyenangkan. Dia membalas tatapan Emy lalu menyeringai. “So what? Selama Yogi nggak suka sama Vara, nggak akan ada masalah.”

**

Maaf cuma update dikit. Sebenarnya ini jadi satu sama bab kemarin tapi ternyata kemarin nyalinnya ngga lengkap.
Terima kasih ya untuk kamu kamu yang mau meluangkan waktu pencet tanda bintang untuk vote cerita ini. Padahal aku ngga pernah minta :")
Ketika aku lagi krisis kepercayaan gini, liat vote kamu kamu jadi tambah semangat ~

Luv,
Nanoniken

Gold DiggerWhere stories live. Discover now