Sense of Betrayal

347 60 0
                                    

Moka menyangklong kembali tasnya, bersiap untuk pulang.
“Ke mana, Mo? Yogi udah datang?” Emy celingukan ke segala penjuru kantin. Dahinya berkerut kala tidak menemukan sesosok cowok yang dia cari.
“Nggak. Gue mau balik.”
Moka sudah menunggu Yogi lebih dari tiga puluh menit lamanya. Itu sudah melebihi batas toleransinya dalam menunggu orang. Dia bukan tipe cewek sabar yang mau saja menunggu tanpa kabar. Pagi tadi Yogi mengiriminya pesan bahwa sepulang sekolah dia akan mengajak Moka membeli buku kumpulan soal untuk belajar. Namun sampai sekarang keberadaan cowok itu entah di mana. Masih ada di bumi atau sudah di atas langit, Moka tidak tahu. Chat WhatsApp-nya sama sekali tidak dibuka oleh Yogi.
“Trus Yogi?”
Sedari tadi Emy menyebut nama cowok itu, membuat emosi Moka makin mendidih. “Kalau lo mau nungguin dia sih, terserah, tunggu aja sampai tua. Gue pulang. Tau gini, gue pulang jalan kaki aja atau minta diantar Avin, udah nyampe rumah dari tadi,” omel Moka.
“Ye, siapa yang janjian, siapa yang suruh nunggu,” cibir Emy.
Sesaat sebelum Moka berdiri, handphonenya berbunyi. Kepala Emy dan kepala Moka serempak menatap ponsel yang berada di genggaman tangan kanan Moka.
“Cepetan buka, Mo. Siapa tau itu Yogi.”
Moka pun menuruti perintah Emy. Dia mengetikkan password ponselnya. Seketika ponselnya menampilkan biji kopi yang digunakan Moka sebagai wallpapernya. Kepala Emy mendekat pada Moka supaya dia bisa ikut melihat layar ponsel Moka. Tidak ada tanda-tanda masuk pesan WhatsApp. Hanya ada notification masuk dari Instagram Moka.
“Yah, kirain Yogi,” ujar Emy tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. “Siapa sih tuh, muncul pas kita lagi nunggu chat orang.”
Moka yang sama penasarannya dengan Emy akhirnya membuka Instagram-nya. Seseorang bernama @riekanafisya mengiriminya DM. Moka sangat mengenal siapa pemilik akun itu. Moka membuka DM itu, dan….
“Hah? Yogi sama siapa itu?” Emy memekik. Dia mendekatkan kepalanya ke layar ponsel Moka. Jarinya dengan lancang menyentuh layar ponsel Moka sehingga foto yang dikirim Rika kini memenuhi layar tersebut. “Ini Yogi, kan?” tanya Emy. Tidak puas, dia mengambil ponsel itu dari tangan Moka dan men-zoom-nya.
Moka sempat melihat foto dan sebaris kalimat yang dikirim Rika. Foto Yogi yang sedang berada di depan meja kasir, hendak membayar. Lalu di bawahnya, Rika memberi pesan singkat.

Aku ambil dia kembali. Makasih udah mau menemani Yogi bermain-main.

“Ambil? Emangnya dia pikir Yogi itu barang?” Berbeda dengan Moka yang diam saja, Emy langsung menyuarakan ketidaksukaannya. “Ini siapa sih, Mo? Lo kenal? Yogi juga kenapa sama cewek ini? Bukannya dia ada janji sama lo?” Emy yang penasaran, menyuarakan pertanyaan bertubi-tubi.
Moka tersenyum miring. Dia juga tidak tahu. Dia mengambil ponselnya dari tangan Emy lalu memasukkan ke dalam tasnya.
Mau bagaimana lagi? Yogi memang barang milik Rika dan sekarang si pemilik itu mengambil barangnya. Orang lain bisa apa?
“Em, antar gue pulang ya.”
Emy mengangguk kemudian meraih kunci motornya. Bersama, mereka menuju ke parkiran tempat motor Emy berada. Sepanjang jalan, berulang kali Emy mencuri pandang ke arah Moka. Temannya itu diam saja, bibirnya mengatup dan pandangannya lurus ke depan. Ekspresi itu membuat Emy tidak berani bertanya apa pun.

**

Gi, lo di mana sih? Gue tunggu di kantin.

Moka membaca baris terakhir chat-nya dengan Yogi. Pesan itu bertanda centang dua dan masih berwarna abu-abu. Tanpa ada balasan. Begitu keluar dari kantin sekolahnya, Moka sengaja mematikan paket data lalu menyetel ponselnya dalam mode pesawat sehingga dia tidak tahu Yogi membaca pesannya atau tidak, membalas atau tidak.
Dia hanya sedang menjaga perasaannya sendiri. Dia tidak yakin akan biasa saja jika tahu Yogi membaca pesannya tapi tidak membalas. Cowok itu sedang bersama dengan mantan pacar yang dia cintai itu, kan? Pasti Yogi tidak sempat membuka ponselnya. Mengingat bahwa dia sudah membuat janji dengan cewek lain sebelumnya pun tidak.
Dia beralih mengambil secarik kertas yang dia simpan dalam buku agendanya. Kertas itu terlipat dengan rapi. Ada tanda tangannya dan tanda tangan Yogi bersisian di bagian bawah. Moka membaca ulang poin-poin yang tertulis pada kertas itu. Kedua sudut bibirnya terangkat ketika mengingat hari saat mereka membuat perjanjian itu bersama.
Ketenangan di dalam kamarnya, terusik dengan suara ketukan di pintu.
“Moka.” Ibu memanggilnya dari luar pintu.
Moka menoleh. “Ya, Bu. Buka aja.” Dia melipat kembali lembaran kertas itu lalu menyimpannya di dalam buku agendanya.
Ibu masuk. “Ada yang telepon.”
“Siapa?” Dia mengingat-ingat siapa temannya yang tahu nomor telepon rumahnya. Namun semakin Moka berpikir, semakin dia tidak mendapat jawaban.
“Yogi. Diterima sana,” suruh ibunya.
Kedua alis Moka seketika bertaut.
“Katanya HP-mu nggak bisa dihubungi.”
Barulah Moka ingat bahwa ponselnya dimatikan paket datanya dan dalam mode pesawat. Niat banget si Yogi, telepon rumah, batin Moka.
“Bilang aja Moka nggak di rumah, udah tidur, atau alasan apa gitu, Bu. Lagi nggak menerima panggilan telepon dari siapa pun,” sahut Moka.
“Ibu udah bilang kamu di rumah dan mau angkat telepon.” Ibunya mendekat lalu menarik tangan Moka. “Cepat diterima sana, kasihan dia telepon ke telepon rumah pasti mahal. HP kamu kenapa juga sih? Baterainya habis? Di-charge sana dong!” omel ibunya.
Moka berdecak sebal. Kenapa dia jadi kena omel ibunya?
“Halo?” Moka menyapa Yogi di telepon dengan nada malas.
“Moka.”
Dan kenapa ada yang tiba-tiba menggelitik perutnya saat dia mendengar suara Yogi yang terdengar lebih dalam lewat telepon rumahnya. Khas suara cowok yang sedang pubertas.
Moka menjawab dengan gumaman.
“HP lo kenapa sih? Gue chat nggak kekirim, gue telepon nggak nyambung.”
“Oh, lo telepon gue? Sorry, nggak sempet lihat HP. Baru pulang juga, abis diajak Emy jalan-jalan sepulang sekolah tadi.”
Eh? Moka segera menutup mulutnya sebelum dia makin banyak berucap. Tadi dia tidak terdengar seperti sedang mengomel, kan?
“Jadi lo udah ada di rumah, Mo?”
“Udahlah,” jawab Moka singkat.
“Oke, gue ke sana ya. Ingat kan hari ini kita ada jadwal belajar?”
Gue juga ingat kalau lo juga janji mau ngajak gue beli buku buat belajar. Moka membatin. Namun karena Yogi sama sekali tidak menyinggung soal janji itu, dia diam saja. Moka tidak dalam mood untuk melontarkan kalimat sarkasme.
“Serah….” Moka menjawab dengan sedikit menyeret sehingga kalimatnya tidak jelas.
“Ha, apa, Mo?” tanya Yogi meminta Moka mengulang kalimatnya.
“Terserah.”
“Oke, wait.” Yogi mematikan teleponnya lebih dulu.

***

Gold DiggerWhere stories live. Discover now