Part 6. Bulan Depan?

38.5K 3.3K 78
                                    

"Mama nggak bercanda kan?"

Pukul 19.46 Iinas baru saja tiba di rumah orangtuanya. Dan, saat itu juga Mama sudah menghadangnya di sofa ruang tamu.  Bilang kalau pernikahannya dimajukan jadi bulan depan.

Ah, Iinas pasti masih ngefly akibat kelamaan berdiri di krl.

"Seriuslah. Mama udah nggak suka bercanda akhir-akhir ini." sewot Mamanya. Bagaimna tidak, kemarin malam dia harus menanggung malu di depan calon keluarga besannya. Terutama di depan calon mantunya yang cakepnya luber-luber itu. Anaknya aja kalah cakep.

Iinas nggak bisa nepatin janjinya, dan jam dua belas teng baru sampai di rumah. Keterlaluan emang. Paginya, anak gadisnya itu sudah grasa-grusu karena telat bangun buat ke kantor. Padahal sang Mama mau bahas pertemuan dua keluarga tadi malam.

"Mama ih! Udah ah. Iinas ke kamar dulu." Iinas malah mengabaikan Mamanya yng lagi bad mood itu.

Hah! Siapa suruh bercanda.

"Iinas! Mama lagi ngomong juga. Duduk sini kamu!" perintah Mamanya, suaranya sudah naik satu oktaf. Iinas keder juga, kalau Mamanya sudah memanggilnya tanpa embel-embel 'dek' berarti Mamanya lagi keluar taring. Alias PMS. Eh, marah maksudnya.

Iinas nurut, memutar tubuhnya dan duduk di seberang Mamanya. "Kenapa sih Ma?" tanya Iinas kalem, meletakkan tas kerjanya di atas meja.

"Kenapa kamu bilang? Mama lagi serius Iinas. Pernikahan kamu dimajukan jadi bulan depan! Siapa suruh kamu mangkir dari acara kemarin."

"Loh nggak bisa gitu dong Ma! Kan katanya waktu itu enam bulan lagi. Mau kasih waktu dulu buat pengenalan sama pendekatan. Kalau begini, kapan waktu pendekatannya Ma??"

"Makanya, kamu kalau Mama atur, yang nurut. Ini semua gara-gara kamu nggak unjuk gigi kenarin. Calon besan jadi ngira kamu kabur, makanya lebih baik dipercepat."

"Kok Mama nyalahin Iinas lagi sih? Kan Iinas udah bilang ada kerjaan mendesak. Lagian Iinas nggak hadir juga bukan karena tanpa alasan kok. Mama kan harusnya bisa jelasin itu!"

"Jadi kamu nyalahin Mama? Gitu??"

Iinas menghela nafasnya pelan. Salah lagi kan?  Batinnya.  "Gini loh Ma," Iinas mengatur nada bicaranya selembut mungkin. Agar Mamanya tidak terpancing.  "Nikah kan nggak asal nikah. Iinas juga perlu dong kenalan sama calon suami, sama calon mertua, sama keluarganya. Kalau cuma sebulan, mana sempat Ma. Apalagi kita sama-sama sibuk. Kan enak kalau kita sudah saling kenal, dekat, baru deh menikah." jelas Iinas dengan halus tak lupa dengan menyuguhkan senyum termanisnya.

"Kalau cuma masalah kenalan dan pendekatan, apa bedanya kalau dilakukan setelah menikah? Toh ujung-ujungnya kalian bakal nikah juga kan? Oh! Apa jangan-jangan selama waktu itu kamu mau cari-cari alasan buat batalin pernikahan kalian? Iya? Gitu?"

Mamanya makin emosi mengetahui kemungkinan ini. Ah, untung saja kemarin calon besan minta pernikahannya dimajukan. Kalau tidak, alamat dia bakalan melihara perawan tua!

"Mama kok gitu sih? Nggak percayaan amat sama Iinas." Iinas menghela nafasnya lagi. Susah memang kalau lawan debatnya Mamanya sendiri. Sudah pasti Iinas tak akan menang, menangpun, Mamanya tidak akan dengan mudah menerima.

Hahh. Emang emak-emak selalu benar!

"Gimana Mama mau percaya kalau kamunya aja kayak gitu!"

"Ah, udah ah Ma. Iinas capek. Iinas mau istirahat. Terserah Mama aja mau gimana, Iinas juga nggak bisa nolak kan?"

Dengan gontai, Iinas mengambil tasnya dan berjalan menuju kamarnya. Terserah Mamanya sajalah, Iinas mau nhomong sampai berbuih juga, Mamanya tak mau dengar.

Guide to Our MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang