Part 50. Manis Gula-gula

47.3K 2.7K 240
                                    


"Aaah...." Iinas terengah. Tubuhnya bergetar hebat. Udah empat kali dia kayak begitu. Tentu saja, semua karena ulah Mas Abi yang masih bergerak kian cepat menghajarnya.

"Iinaaash... Hahh... Aahh." Abi ikutan mendesah, tangannya makin erat mendekap tubuh hangat istrinya. Sebentar lagi, Abi mau nyusulin Iinas. Pinggulnya bergerak makin cepat memasuki Iinas.

"Aaah... Ahhh!"

Abi sampai, dan segera melepas miliknya sebelum dia lepas kontrol dan menghujam Iinas makin dalam. Tubuhnya ikutan bergetar. Pelepasannya kali ini, lebih hebat daripada yang sebelumnya.

Abi mengecupi kepala Iinas yang ada di depannya, beberapa saat kemudian dibaliknya tubuh istrinya itu menghadapnya. "Aku sayang kamu." katanya, lalu mengecup kening Iinas. Sedang Iinas masih terengah mengatur napasnya. Mas Abi selalu sukses buat dia lemah tak berdaya.

"Besok kita pulang ya?" kata Abi, setelah keheningan beberapa saat.

"Tapi Iinas masih pengen di sini aja." jawab Iinas, wajahnya semakin ia surukkan ke dada telanjang Abi.

"Tapi aku kan harus kerja."

"Memangnya berangkat dari sini nggak bisa?"

"Bisa sih."

"Ya udah."

"Tapi di sini nggak bebas, Sayang."

"Nggak bebas gimana?"

"Kamar kamu aja nggak kedap suara begini."

"Ya terus?"

"Kamu nggak malu apa, kalau teriakan kamu didengar sama Fahim?"

"Mas tuh yang teriak. Aku enggak!"

"Hmmh. Iya-iya. Tadi yang melengking itu suara aku. Bukan kamu."

"Ish!"

"Makanya, besok kita pulang ya?"

"Tapi masih kangen sama Kak Fahim."

Abi menggerutu. Fahim lagi, Fahim lagi. Lama-lama si Fahim mau Abi tendang aja ke Papua Nugini sana. Kenapa mereka musti kembar sih? Adek kakak biasa aja kan bisa!

"Fahimnya aja yang suruh main ke apartemen kita." usul Abi. Yaah, setidaknya kalau Abi pengen nendang si Fahim, nggak ada emak bapaknya di sana. Jadi bebas.

"Kak Fahim kan sibuk. Dia pulang kerjanya malem terus, kasian kalau harus ke apartemen." bantah Iinas.

Tapi gue nggak dikasihani?

Nasibmu Bi!

"Terserah deh."

"Mas marah?"

"Nggak."

"Itu marah."

"Enggak."

"Kok gitu?"

"Gitu gimana sih??"

"Tuh kan marah." Iinas ngelepasin pelukannya buat ngelihat wajah ngambeknya Mas Abi.

"Kamu maunya gimana?"

"Kita seminggu nginep di sini."

"Iya. Iya." jawab Abi malas. Ya udahlah ya. Mau gimana lagi, kalau Iinas maunya gitu. Dibilangin juga nggak bisa.

"Kok nggak ikhlas?"

"Ikhlas Iinaaas."

"Tuh-tuh! Manggilnya aja gitu."

"Ya Allah, kamu mau dipanggil gimana? Juminten? Maesaroh?"

"Lucu deh. Makin sayang akunya."

Cup!

Guide to Our MarriageWhere stories live. Discover now