Part 13. Tadi Malam

54.8K 3.9K 210
                                    

Pagi yang cerah.

Tapi, Iinas bangun dengan tubuh yang rasanya mau rontok. Pinggangnya rentak, kakinya ngilu hingga kebas. Bukan karena diapa-apain sama Abi, tapi efek pesta pernikahannya semalam.

Iinas lihat sekeliling, Abi nggak ada di kamar itu. Tadi malam, setelah Iinas ganti dengan piyama, Iinas berencana menunggu Abi. Tapi, baru tiga puluh menit nunggu, Iinas udah nggak kuat. Matanya nggak mau lagi diajak kompromi. Pokoknya tidur aja.

Iinas juga nggak tau kapan Abi balik. Atau, malah nggak balik ke kamar? Ah, nggak tau deh semalam Abi bobok dimana. Iinas emang beneran berasa kayak orang mati. Nggak kerasa apapun pas tidur. Mimpi aja enggak.

Yah, padahal Iinas udah ngarep tidur dipelukan suaminya. Duh, Iinas murahan banget nggak sih? Masak baru kenal udah pengen dipeluk aja. Kayaknya konslet otak Iinas.

Iinas bangun, udah jam 06.28 tapi dia belum sholat subuh. Astaghfirullah, Iinas mengucap ampun dalam hatinya. Semoga Allah senantiasa mengampuni dosanya yang menumpuk.

"Bisa jalan?" tanya sebuah suara yang datang entah dari mana.

"Mas Abi? Dari mana?" tanya Iinas. Perasaan tadi dia nggak dengar ada yang buka pintu. "Kok subuh saya nggak dibangunin?"

"Kita pulang setelah sarapan." kata Abi datar. Mengabaikan pertanyaan Iinas. Abi malah duduk di sofa membelakangi istrinya.

Iinas kesal, kalau aja surga nggak berada di bawah telapak kaki suami, udah Iinas lempar tuh si Abi pakai guling. Diajak ngobrol baik-baik, malah begitu. Iinas kan ingin mencoba membangun hubungan baik dengan suaminya itu. Mau sampai kapan mereka kayak orang nggak kenal gini. Udah sah loh mereka, di mata hukum, terutama di mata Tuhan. Pernikahannya bukan main-main.

Iinas mengabaikan si Batu Kali. Membuka selimut, dan menurunkan kakinya. Mencoba menapak ke dinginnya lantai dan menuntaskan hajat paginya. Matahari terus naik, Iinas nggak mau makin telat sujud menghadap tuhannya.

Baru mau berdiri, Iinas udah meringis. Kakinya sakit banget. Ah, cuma nikah gitu aja kenapa sampai jadi kayak gini sih? Iinas udah ngerasa jadi pesakitan yang nggak bisa jalan.

Dengan tertatih, Iinas jalan ke kamar mandi. Lututnya udah mau nempel aja ke lantai. Katakan Iinas lebay, tapi beneran, kaki Iinas sakit banget. Udah mau nangis aja dia. Mana nggak ada yang merhatiin lagi. Punya suami juga nggak ada gunanya.  Malah enak-enakan baca koran. Padahal istrinya kesusahan cuma buat jalan ke kamar mandi.

Belum selesai Iinas mengumpat, dan baru tiga langkah dia berjalan, tubuhnya berasa melayang lagi.

Demi apa Mas Abi gendong Iinas lagi??

Segala umpatan Iinas menguap seketika. Pipinya memerah, senyumnya udah mau merekah. Untung Iinas bisa tahan. Tangannya langsung memeluk leher Abi, tapi wajahnya nunduk. Iinas malu.

Abi mendudukkan Iinas di meja wastafel,

Kenapa kamar mandinya deket banget sih?

"mau apa dulu?" tanya Abi.

Coba lebih lama digendongnya. Kok Mas Abi wangi banget sih, kan gue jadi pengen nempel terus. Ya ampun! Gue kenapa sih?

Iinas benar-benar udah gila. Gimana bisa, secepat ini dia kayak jatuh cinta gitu sama Mas Abi. Nggak masuk akal banget deh. Sama Mas Agus yang dua tahun aja, Iinas biasa. Nggak ada yang namanya pipi bersemu merah, apa lagi senyum merekah.  Datar aja gitu.

Abi melepas tangan Iinas yang masih meluk lehernya. Tapi nggak tau Iinasnya lagi pergi kemana. "Mau apa?" tanya Abi lagi.

"Eh, pipis." kata Iinas malu. Bisa-bisanya dia nggak ngelepas tangannya. Malu banget deh, ketahuan kan ngarepnya.

Guide to Our MarriageWhere stories live. Discover now