Part 12. Resepsi

43.9K 3.4K 74
                                    


Wow!

Iinas nggak pernah nyangka kalau pesta pernikahannya akan semewah ini. Memang sedari kecil, Papanya membiasakan anak-anaknya untuk hidup sederhana. Nggak bermewah-mewahan dalam gelimang harta, meskipun keluarga Iinas termasuk keluarga yang berkecukupan.

Dulu dalam bayangan Iinas, pernikahannya akan digelar sederhana. Mungkin hanya mengundang dua ratus sampai tiga ratus orang saja. Tapi  sekarang, entah berapa ribu orang yang diundang oleh kedua orang tua mereka. Papanya aja yang mantan rektor, sudah bisa dibayangkan berapa banyak koleganya.  Belum lagi keluarga Abi yang punya jaringan hotel itu. Iinas curiga, jangan-jangan semua orang yang pernah menginap di hotel keluarga Abi, diundang ke pernikahan mereka.

Gimana enggak, sudah tiga jam lebih Iinas berdiri dan memasang senyum terbaiknya.  Tapi, tamu-tamu undangan terus saja berdatangan. Bersalaman, cipika-cipiki, dan nggak lupa dengan selfie.

Ffiuh, Iinas memang harus tahan banting.

"Mas, capek." keluh Iinas pada suaminya. Iinas tahu, Abi akan mengabaikannya. Tapi biarlah, Iinas udah nggak tahan lagi. "Kaki saya pegel, Mas." keluhnya lagi. Heels sepuluh senti itu memperburuk kondisi kakinya. Dari jari kelingking, tumit, hingga betisnya, nggak bisa lagi dijelasin deh. Sakit pokoknya

"Duduk saja." kata Abi datar.

Iinas mengerucutkan bibirnya. "Gimana mau duduk, undangannya aja masih banyak gitu!" kata Iinas setengah berbisik dan nggak ngilangin senyum manis di wajahnya.

"Ya sudah jangan duduk." balas Abi.

"Ih! Ngeselin!" sambil berbisik jengkel,  Iinas mencubit pinggang suaminya. Gemes banget deh sama si Abi.

Tapi Abinya anteng aja. Nggak terpengaruh sama cubitan Iinas. Mukanya juga datar dari tadi. Nggak nunjukin seneng ataupun terpaksa. Entahlah, hanya Abi yang tahu.

"Tahan sebentar lagi. Duduk saja dulu." kata Abi akhirnya.

Akhirnya, Iinas duduk juga. Kakinya udah nggak tertolong lagi. Selepas acara ini, nggak tau lagi deh Iinas bisa jalan apa enggak. Waah, Iinas kudu manggil Mak Saroh buat mijitin badannya. Secepatnya. Untung seminggu ke depan, Iinas masih punya jatah libur.

"Woi Bro!" seorang pria gondrong datang mendekati Abi. Senyumnya merekah, memeluk Abi sekilas layaknya seorang sahabat. "Kawin juga lu akhirnya! Nggak nyangka gue. Kirain bakalan ngejomblo sampe aki-aki." kata teman Abi itu.

Abi tertawa sekilas, kayaknya baru ini dia tertawa. Tapi, Iinas nggak sempat lihat, nggak sempat terpesona sama senyuman Abi. Iinas masih sibuk sama kakinya yang sakit.

Tapi, Iinas langsung mendongakkan wajahnya saat sebuah kaki menyenggol lututnya. Abi ngasih kode di sana. Kode buat berdiri dan menyambut sahabatnya itu.

Iinas menghela nafasnya. Sabar, ini hanya cobaan kecil. Yakin Iinas dalam hatinya.

Iinas tersenyum, bersusah payah kembali menjejakkan kakinya. Tapi, belum sedetik Iinas berdiri, sebelah kakinya kebas, sebelahnya lagi sakit bukan main.

Iinas limbung.

Iinas berucap syukur dalam hatinya saat tangan Abi refleks menangkap pinggangya. Kalau enggak, Iinas bisa aja terjungkal ke depan. Kan malu banget.

"Ecieeee!" koor dari teman-teman Abi yang ikut di belakang si gondrong.

"Baru pertama nih lihat Abi pegabg cewek." kata cowok di belakang amsi gondrong.

"Heem, Abi kan takut sama cewek." kata si kaca mata.

"Akhirnya, lihat kalian kayak ada manis-manisnya gitu." si gondrong bicara lagi. "Andre." si gondrong yang bernama Andre itu mengulurkan tangannya ke Iinas.

Guide to Our MarriageWhere stories live. Discover now