32

56.3K 3K 329
                                    

"Aku inget banget gimana muka bodohnya Steve pas dulu ketauan mau cabut sekolah." Clara dengan suaranya yang menggelegar membuat wajah Steve merona karena malu.

Saat ini Adelia, Tata, Clara, Steve serta Brian sedang mengenang masa sekolahnya dulu. Entah di mulai darimana, tiba-tiba saja semua kenangan itu terbayang oleh mereka.

"Iya bener! Udah gitu ngakunya mau ke toilet lagi. Jelas-jelas dia naik tembok." tambah Tata yang semakin membuat mereka tertawa.

Untungnya, di tengah masalah yang amat berat ini- Adelia masih bisa tertawa. Ia beruntung di sampingnyaa, ada sahabat-sahabatnya yang menemaninya disaat senang dan sedih.

"Selamat sore." suara Devanno membuat pembicaraan mereka terhenti. Begitupun juga senyum di wajah Adelia.

Devanno sedikit tersenyum karena melihat Adelia di kelasnya. Sudah beberapa hari ini, Adelia membolos kelasnya dengan alasan sakit. Padahal, sebenarnya Adelia hanya sedang menghindar dari Devanno.

"Saya adakan Quiz hari ini. Kerjakan dengan baik untuk menambah nilai kalian." kata Devanno yang membuat mahasiswanya mengeluh.

                                   ......

"Kok aku kepengen makan pasta ya guys?" kata Adelia tiba-tiba.

Mereka sedang berjalan di koridor kampus. Kelasnya sudah berakhir sejak tadi. Tak ada yang special dari kelas Devanno. Biasa saja. Bahkan cenderung sepi.

"Yaudah kita ke restoran biasa aja. Tapi jangan banyak-banyak ya, ngga baik." kata Clara.

"Iya bener! Seenggaknya makan sedikit aja biar anak kamu entar ngga ngiler." canda Tata yang dihadiahi pukulan kecil oleh Adelia.

"Jangan sampelah. Amit-amit." kata Adelia seraya mengusap perutnya.

"Adelia." suara itu membuat mereka kompak menoleh.

"Ayo balik aja. Aku males ketemu dia." kata Adelia.

Adelia hendak melangkah, namun sayang Devanno menahannya.

"Aku mau bicara sama kamu." katanya.

"Aku mau pergi sama temen-temen aku, mas. Lepasin." kata Adelia berusaha melepas tangannya.

"Sampe kapan kamu mau menghindar dari aku? Please, hari ini aja." kata Devanno sedikit memohon.

"Sepertinya dia bilang kalo dia ngga mau, pak." ucapan Brian membuat mereka semua menatapnya.

"Itu bukan urusan kamu." sarkas Devanno.

"Jelas aja itu urusan saya. Aya ini sahabat saya. Saya ngga mau ngeliat sahabat saya menangis karena laki-laki seperti anda."

Wajah amarah Devanno tergambar saat ini. Ia melepas tangan Adelia dan mendekat pada Brian.

"Kesabaran saya udah abis sekarang sama kamu, Brian."

Brian tertawa sinis. "Lalu anda mau apa?"

Saat ingin mendekat, Adelia menahan Devanno.

"Udah-udah mas! Ini di kampus. Ayo pergi dari sini aja." Adelia melerai. "Aku pulang ya, guys. Lain kali aja makan pastanya." sambung Adelia pada temannya.

"Ayo!" kali ini, Adelia yang membawa Devanno pergi menjauh.

Dengan amat terpaksa, Adelia mengikuti Devanno yang membawanya pulang kerumah mereka berdua. Sudah beberapa hari ini, mereka tak tinggal bersama. Adelia di rumah orangtuanya, sedangkan Devanno tinggal disini, dirumah mereka. Awalnya, orang tua Adelia melarangnya untuk melakukan ini. Tapi, karena Adelia meyakinkan mereka bahwa tak ada apa-apa antara Devanno dengannya. Ia beralasan hanya rindu dengan rumah orang tuanya.

"Mandi gih. Abis itu istirahat." kata Devanno dengan nada lembut.

"Aku bakal mandi dan pulang setelahnya."

"Kamu udah pulang, Aya. Ini rumah kamu."

"Bukan! Ini bukan rumah aku. Ini rumah kamu, dan kak Siska nantinya."

Devanno mengusap wajahnya kasar. "Please, Aya. Aku emang cinta sama Sis----"

Omongan Devanno terputus karena ia baru saja mendapat tamparan keras di pipinya.

"Kamu sadar ngga sih sama apa yang kamu bilang? Kamu dengan gamblangnya bilang kalo kamu cinta sama Siska di depan muka aku dengan enaknya. Kamu tuh udah gila? Hah?" Adelia bernada sangat emosi sekarang. Bahkan ia sedikit berteriak karenanya.

Devanno terdiam. Ia merasa bahwa ia pantas mendapatkan tamparan dari Adelia saat ini.

"Aku udah capek sama kelakuan kamu mas! Kamu ini dosen, kamu seharusnya punya pikiran kalo mau bicara. Apalagi kamu ini psikolog yang seharusnya tau apa yang bakal dirasain sama lawan bicara kamu tentang omongan gila kamu itu." sambung Adelia.

"Dengerin aku dulu sayang,"

"Aku udah bilang berkali-kali, stop panggil aku sayang! Kamu ngga sayang tulus sama aku. Kamu nikahin aku hanya karena kakek."

"Enggak! Aku nikahin kamu karena aku sayang sama kamu. Aku bukan anak kecil yang nikahin orang seenaknya tanpa ada rasa sayang atau cinta."

"Bullshit!"

"Terserah kalo kamu bilang aku bullshit atau apapun. Yang jelas aku sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu." omongannya terjeda. "Tapi aku ngga bisa tinggalin Siska." sambungnya.

Adelia menggeleng tak percaya. "Kamu emang udah gila."

"Aya, please,"

"Kamu inget kan aku pernah ngasih pilihan ke kamu? Tinggalkan Siska atau ceraikan aku. Sekarang aku tau jawabannya. Kamu lebih milih menceraikan aku daripada ninggalin Siska kan? Ok mas! Aku terima. Aku lebih baik di cerai, dari pada aku harus tinggal sama laki-laki yang ngga sepenuhnya cinta sama aku."

"Enggak! Aku ngga mau pisah sama kamu."

"Ya terus kamu mau gimana? Kamu pikir enak ada disini sekarang mas?" Adelia kembali menangis.

"Aku bakal lakukan apapun, tapi aku ngga mau pisah sama kamu."

Adelia menghapus air matanya kasar. "Maksud kamu, kamu tetep sama aku dan mau nikahin Siska juga? In your dream, mas."

"Ngga gitu, Aya. Dengerin dulu."

"Udah!! Aku capek. Kamu ngga punya pendirian. Nikmatin aja apa yang jadi mau kamu. Nikmatin apa yang kamu lakuin sekarang. Aku ngga perduli."





Tbc.

Selamat misuh-misuh 😊😂

 My Lecturer My Husband → K.M.GWhere stories live. Discover now