9 - Tinggal Di Rumah Kaca?

1.2K 228 17
                                    

Kalian pasti tidak akan percaya dimana aku sekarang! Di rumahnya cewek hoodie kuning, sedang duduk di karpet menunggu sang tuan rumah mengambil suguhan.

Kesan pertama saat memasuki rumahnya adalah ... menenangkan.

Bagaimana tidak? Begitu masuk aku langsung disambut dengan aromaterapi yang menyejukkan. Ditambah lagi ada banyak tumbuhan dalam pot disana-sini. Dia juga punya kebun kecil di depan rumah.

Intinya, rumahnya terlihat seperti rumah kaca.

Karena letaknya di belakang toko sembako besar dimana harus masuk gang dan bukan di pinggir jalan, maka tidak heran kalau suasana disini adem dan cocok untuk berkebun.

Melirik ke sisi lain.

Dia punya lumayan banyak guci hias berbagai ukuran yang ditata rapi pada rak dinding, serta banyak sekali wadah kaca berisi cairan berwarna yang entah apa itu. Tapi yang membuat pandanganku berhenti cukup lama adalah ikatan tanaman yang digantung pada langit rumah di salah satu sudutnya.

"Jangan diliatin, nanti rontok." celetuknya sambil membawa dua gelas air putih dengan potongan tipis lemon dan beberapa es batu. "Aku butuh tempat yang aman buat jemur tanaman itu. Kalau di luar kehujanan, nanti jamuran. Jadi kujemur di dalem aja,"

"Kenapa kamu jemur kayak gituan?"

"Itu tanaman terapi, buat bikin lilin. Atau dibuat barang setengah jadi kayak bubuk atau minyak esensial juga bisa." jelasnya, dia kembali mengambil beberapa camilan dari dapur dan meletakkannya di hadapanku. "Kadang juga aku bikin sabun organik.."

Aku manggut-manggut, jadi itu sebabnya banyak wadah kaca disini. Dan cairan berwarna itu adalah minyak esensial yang dia ekstrak dari tanaman terapi untuk membuat lilin atau sabun. Sekarang jelas juga kenapa dia punya alu kecil seperti milik dokter.

Aku memakan camilan yang dia suguhkan, "Kenapa kamu bikin lilin, sabun, sama minyak terapi kayak gitu?"

Dia ikut duduk di depanku. "Kenapa lagi? Buat dijual lah. Hidup sendiri itu berat."

Aku tersedak, tapi tidak lebay. Jadi maksudnya dia tinggal sendiri? Aduh, aku merasa jahat sudah memakan camilan ini.

"Maaf ya kalau aku lancang, tapi ... orang tuamu kemana?" aku bertanya hati-hati.

Dia tersenyum hambar, "Meninggal."

"Karena?"

"Kebakaran." jawabnya sambil mengangguk-angguk pelan seolah ini pertanyaan biasa.

"Kamu gak punya sanak saudara? Paman? Atau om? Atau siapa gitu?"

"Punya, aku tinggal sama tanteku sebelum lulus SD. Mulai SMP aku tinggal sendiri. Aku nggak mau ngerepotin mereka lagi." jawabnya cepat dengan guratan senyum yang semakin mekar di pengucapan kalimat terakhir.

Sekarang aku jadi tidak enak sudah memecahkan potnya. Iya, tadi aku tidak sengaja menabraknya saat berjalan di trotoar. Sialnya, tanaman dalam pot --yang baru saja dia beli-- merosot jatuh dari pelukan tangan kirinya. Alhasil kami hanya bisa menyelamatkan tanamannya saja.

Karena itulah aku bisa sampai rumahnya. Aku yang membawakan tanaman miliknya beserta sisa-sisa tanah pada akarnya dengan tangan kosong.

Terlepas dari tanganku yang kotor sampai ke kuku-kuku, tadi itu lucu sekali karena dia terus-terusan rewel --takut bila tanamannya layu sebelum sampai rumah.

Benar-benar menggemaskan. Dia mengkhawatirkan sebuah tanaman sampai segitunya. Hahahahah!

"Pot kamu tadi, aku ganti pake uang aja gimana?" tawarku, tapi dia malah memasang tampang sedih yang kelihatan sekali kalau dibuat-buat.

"Kamu tau? Aku sakit hati, loh, kalo kamu kayak gini."

Aku mengernyit.

"Aku emang hidup sendiri, tapi kehidupanku normal kok. Enggak kesusahan. Aku juga punya tabungan, dan saldonya cukup buat belanja mingguan sampai beberapa tahun ke depan." jelasnya begitu yakin lalu menoleh ke arah dimana dia menggantung tanaman, "Bikin lilin, sabun, sama bubuk terapi itu cuma hobi. Aku suka tanaman dan aku sering bosan, jadi aku eksperimen bikin kayak gini. Seru tau!"

Bagaimana caraku merespon? Aku bingung. Tak pernah kumenghadapi situasi semacam ini.

Well, kurasa aku salah. Dia punya keluarga tapi tidak ingin merepotkan. Hidup sendiri adalah pilihannya karena dia tau dia mampu. Dan aku salah sudah meremehkan kemampuannya.

Kesopananku menurun, harusnya kusemangati agar dia pun lupa kalau sedang berjuang sendiri.

Aku tersenyum kemudian, "Maaf ... karena udah jadi cowok gak sopan untuk beberapa menit tadi. Besok jalan-jalan, yuk? Kita beli pot baru."

Lalu setelah senyumannya terbit, senyumku pun kalah. Dia menjentikkan jarinya dan berseru, "Gitu dong! Kalau gantinya pake barang, baru aku mau!"

Dia pintar. Dapat menangkap maksudku dengan cepat.

・ • • ━━━♦️━━━ • • ・

ZenithWhere stories live. Discover now