41 - Awkward Moment

967 112 6
                                    

Percayalah, meskipun aku sudah tau nama sekolah Niko--adiknya Tifani--tapi aku sama sekali tidak tau kalau sekolahnya itu berada di daerah tempat tinggal Zee.

Dan jantungku sudah maraton sejak Niko terus-terusan merengek minta mampir ke restoran mi di persimpangan jalan yang dulu pernah kudatangi bersama Zee. Ternyata Tifani juga memfavoritkan restoran itu. Tak kusangka mereka satu selera.

"Kak, kak!" panggil Niko seraya mengguncang bahu Tifani. "Kata temenku, di deket sini ada pasar malam. Kesana yuk, kak!"

Pasar malam. Kenapa dua kata itu langsung merujuk kepada Zee? Iya, Zee yang buka stan bazar di pasar malam. Cobaan apalagi ini?

"Kapan-kapan aja, ya? Nanti Mama nyariin." jawab Tifani. "Kakak juga bawa uangnya pas-pasan."

Niko merengut, lalu beralih menatapku. "Kak Arsa juga nggak bawa duit?"

Aku bingung menjawab. Bawa sih, bawa. Tapi masalahnya aku sedang menghindari seseorang di pasar malam itu. Bagaimana, dong?

"Bawa lah! Nih ya, Nik. Cowok itu kemana-mana harus bawa duit. Kalo nanti kamu punya pacar, jangan biarin pacar kamu bayar makanannya sendiri. Harga diri!" kataku mencoba membelokkan pembicaraan agar Niko lupa tentang pasar malam itu.

Niko mengangguk pelan. "Berarti ini nanti yang bayarin kak Arsa, dong! Kan kakak pacarnya kak Arsa."

Bola mataku bergerak kikuk, sementara Tifani masih berusaha meredakan batuknya.

"Iya, nanti kak Arsa yang bayar."

Tifani dengan cepat menolak, "Eh, nggak usah, Sa! Omongan anak kecil jangan didengerin."

"Gak apa, Fan. Kayak sama siapa aja!"

Lebih cepat selesai, lebih cepat pulang, lebih cepat aku terbebas dari rasa was-was akan kemunculan seseorang. Harusnya mudah. Jika Tuhan pun juga mendukungku.

"Makasih ya, traktirannya." tutur Tifani. "Dan maaf buat omongan Niko tadi. Sumpah, aku nggak pernah bilang kalo kita pacaran!"

Aku tersenyum, "Iya, santai aja." Pandanganku tertuju kepada Niko yang berjalan girang di depan kami sembari mengangkat tinggi-tinggi pesawat mainannya.

"Emm ... akhir-akhir ini aku sering lihat Zee murung sendirian. Kenapa, ya?"

Sedikit mendesis diikuti suara hembusan napas berat, aku menjawab, "Ganti topik aja, ya? Aku lagi gak mau bahas dia."

Tifani mengangguk, lalu menundukkan kepala selama beberapa saat dengan senyum kecil yang masih nenghias di wajah.

Arsa bodoh! Mencari topik itu kan susah!

Dan seseorang semacam Tifani yang kesulitan dalam mengikuti suatu pembicaraan, sudah memberanikan diri untuk mencoba membuka topik. Tapi aku malah merespon seperti itu.

"Lagian sekarang kan aku sama kamu. Kenapa malah ngomongin Zee? Ntar jatohnya gibah lagi!"

Tifani mengangkat kepalanya dan tersenyum pepsodent. "Iya juga ya. Haha!"

"Nah, kan... Lucu dong nanti, kalo calon bapak-bapak ngegibah."

"Hah? Calon bapak-bapak?" Tifani memandangiku dari atas sampai bawah. "Bah, udah siap aja kamu, Sa!"

Aku ikut tertawa melihat Tifani tertawa. Sumpah, ketawanya bisa nular! Sini deh, kalau gak percaya.

"Aduh!" pekikan Niko di belokan jalan mampu mengalihkan perhatian kami. Tifani langsung bergerak cepat menghampiri adiknya yang ternyata menabrak seseorang tanpa sengaja.

Begitu melihat orang yang ditabrak Niko, aku membatu seketika. Itu seseorang yang kuhindari, Zee, yang sama kagetnya sampai-sampai kelihatan tegang.

Dan saat itu, aku pun menyadari seberapa bencinya semesta terhadapku hingga tak mengijinkanku untuk move on dengan tenang.

"Kak, kak! Kalo main patung-patungan, aku diajak dong!" celetuk Niko dengan polosnya. Kami bertiga sontak tersadar dari keterkejutan masing-masing.

"Oh–...hai, Fan! Sa!" sapa Zee. Dia lalu membungkuk hingga sejajar dengan Niko. "Dan siapa si kecil yang ganteng ini?" tanyanya sambil mengusap lembut puncak kepala Niko.

Anak itu tersenyum lebar. "Niko, kak!"

Zee membalas senyum sampai matanya menyipit. Kemudian dia jadi gemas sendiri dengan Niko. Memperlakukan bocah itu layaknya seekor kucing.

Tifani berinisiatif mencairkan suasana canggung ini dengan berbasa-basi, "Wah, kebetulan banget ya, Zee! Kamu mau kemana bawa barang sebanyak itu?"

"Oh ini, poster festival malam tahun baru. Bakal seru loh, Fan! Soalnya ada konser dari musisi-musisi indie. Kalian wajib dateng! Ini recommended banget pokoknya." jelas Zee yang begitu excited. Dia memberikan dua gulung poster kepada Tifani. "Tolong tempelin di dekat rumahmu ya, Fan! Kalau bisa di tempat yang strategis."

"Oke-oke, beres!"

Zee menghela napas pelan. Iris coklatnya kemudian mengarah padaku. Untungnya aku bisa mengantisipasi hal itu dengan cara berpaling ke arah lain.

"Kak, enak ya jadi orang cantik!" ujar Niko tiba-tiba. Tolong, ini aneh banget frasanya! 'Orang cantik'? Janggal ya, kedengarannya.

"Maksudnya?" tanya Zee dengan nada bingung.

"Kalo cantik kan biasanya udah punya pacar. Kalo udah punya pacar berarti enak, dibayarin terus."

Terdengar suara tawa Zee disusul dengan ucapan, "Wah, sayang banget ya, aku nggak punya pacar."

"Nggak mungkin! Kakakku yang jelek aja bisa punya pacar kayak kak Arsa. Masa' kak cantik nggak punya?"

Aku otomatis menoleh. Melihat serta menunggu reaksi Zee. Di luar dugaan, dia justru tertawa nyaring.

"Yah, berarti aku nggak secantik yang kamu kira."



・ • • ━━━♦️━━━ • • ・

ZenithWhere stories live. Discover now