53 - Cerita Yang Terlupakan

334 57 13
                                    

Trash bag di tempat sampah depan kelas sebelas kuangkat dengan tidak santai. Hidungku mengerut menahan bau menyengat yang menyeruak masuk ke indra penciumanku. Tanpa rasa jijik, aku langsung mengikatnya menggunakan tangan kosong.

Huh, tega sekali sekolah ini! Padahal seingatku, petugas kebersihan pun masih harus memakai kaus tangan ketika menjalankan pekerjaannya.

"Satu setengah tahun nggak ikut kumpul ternyata nggak ngaruhin kemampuan lo, ya?"

Badanku kembali menegak setelah menyatukan empat trash bag agar mudah dibawa ke tempat sampah utama sekolah ini. Kini manikku terarah pada Delvin yang baru saja melontarkan kalimat tersebut.

"Ya," balasku seraya menepuk-nepukkan telapak tangan guna menghilangkan kotoran yang menempel. "Masih stay di sana lo?"

"Masih, bro." Delvin mendekat, berniat bercengkerama lebih lama. "Selama Arumanjani dan Megantara belum akur, kita bakal tetep stand by."

"Lo gak ngerasa buang-buang waktu? Bentar lagi lulus, biar adek kelas yang nerusin."

"Emang udah diurus mereka, tapi gue tetep harus cek ke sana. Bisa nyerempet kriminal kalo bocah-bocah itu nggak diawasin." Delvin menjeda ucapannya sebentar, mengamati keadaan sekolah yang sepi karena bel pulang sudah berdering sejak dua puluh menit lalu. "Btw, lo beneran nggak percaya?"

"Soal apa?"

"Cewek lo."

Ingin sekali aku mengoreksi ucapannya bahwa Zee bukanlah cewekku, tapi aku masih ngarep. Ya udahlah, gak pa-pa.

"Gosip gak bener, ngapain dipercaya?" bohongku, padahal Zee telah mengakuinya terang-terangan di depan mata.

Embusan napas terdengar dari lawan bicara. "Kayaknya lo emang harus percaya deh, Sa. Inget waktu gue bilang banyak yang keluar dari geng perbatasan gara-gara dia?"

"Kapan lo bilang gitu?"

"Kelas sebelas."

Aku mengernyit ketika memaksa otakku untuk mengingat-ingat, tapi yang kudapati tetap saja kebuntuan. "Bentar, gue gak paham arah pembicaraan lo. Apa hubungannya?"

"Zenith," ujar Delvin bernada agak kesal. "Masa lo nggak inget apa-apa soal nama itu?"

Alisku bertaut makin kentara, kian menggambarkan betapa bingungnya diriku terhadap topik ini. Memang kenapa dengan namanya? Yah, walau memang terdengar aneh bagi yang baru kenal, tapi kupikir itu lumayan unik.

"Zenith. Rooftop gedung putih," katanya lagi.

Empat detik terlewat, dan kepalaku masih belum bisa memproses clue tersebut. Di detik keenam, barulah sepotong adegan terlukis jelas di ingatan. Sebuah cerita terlupakan dari masa lalu.

.

"Gue Madrid. Kalo menang, lo kudu balik lagi ke perbatasan."

"Yeu, samaan lah, dodol!"

"Juventus deh gue. Deal?"

"Gak. Kalo duit, baru gue gas."

"Yodah. Kalo lo menang, gue kasih goban. Kalo gue menang, lo balik kumpul lagi."

"Apaan goban doang!"

"Maruk bat elah! Yodah goban dua lembar."

Aku tergelak atas penawaran berapi-api yang dilontarkan Delvin. "Ngotot amat lo! Gue keluar karna nilai anjlok, bukan karna pengen. Bapak gue ngamuk, nyuruh fokus sekolah sampe ngancem-ngancem. Ya gue bisa apa?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 05, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ZenithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang