31 - Never Make a Nonversation

850 99 10
                                    

Sudah empat hari ini aku seperti mayat hidup. Bukan-bukan, aku tidak sakit. Maksudnya, aku hidup tapi mati. Duh, bagaimana, ya? Aku terlalu payah untuk berkata-kata.

Intinya, semangat hidup telah meninggalkanku.

Ah, terlalu lebay.

Pokoknya, perasaanku campur aduk. Ingin bicara tapi malas. Ingin ke kantin tapi malas. Ingin bertingkah macam biasa pun rasanya juga malas.

Mirip seperti saat kecelakaan Dio dulu, namun kali ini lebih aneh.

Aneh karena pengecualian untuk Zee seakan hancur seketika. Jadi, sejak traktiran itu aku jauh darinya. Dan ajaibnya, akupun juga tak melihatnya sejak saat itu. Seolah kutukan 'selalu bertemu' telah hilang.

"Sa, kantin yok!" ajak Rio.

Aku memiringkan kepalaku yang berbantal jaket ke arah Rio dan menjawabnya dengan mata tertutup, "Males."

"Kemaren lo juga ngasih alesan itu, sampe kenyang gue dengernya. Lo kenapa, sih?"

"Gue males." sambarku.

Rio menepuk-nepuk pundakku dengan keras ketika mengatakan, "Lo harus buat perubahan, wahai sobatku. Cuma karena kegagalan dalam membina mahligai pacaran, lo sampe sedepresi ini? Sungguh miris daku memandangmu."

Aku duduk tegak, "Tinggi banget bahasa lo!"

Akhirnya, kuciptakan perubahan —atau mungkin menghilangkan perubahan.

"Yodah kantin yok! Gas!"

***

"Fan, menurut kamu ... aku termasuk cowok playboy, bukan, sih?" tanyaku membuka pembicaraan dengan Tifani, dia daritadi diam saja soalnya. Kami berempat —aku, Tifani, Damar, Rio— tengah berada di salah satu meja kantin.

Tifani menyiramkan kuah kacang ke potongan batagornya menggunakan sendok, "Bukan. Kamu bukan playboy, kan mantan kamu cuma satu."

"Tapi katanya banyak cewek yang sakit hati gara-gara aku."

"Ya ... kamu kan nggak sampe macarin mereka."

"Jadi bukan, ya?"

"Bukan."

Aku melahap baksoku lagi, "Terus aku ini cowok macem apa?"

"Kamu tau 'kan istilah heartbreaker? Mungkin lebih ke itu."

Ya, aku sudah tau. Kamu bukan cewek pertama yang bilang kata itu, Fan.

"Kamu itu cowok baik, Sa."

"Hm?"

"Iya." Tifani mengangguk. "Cuma kadang rada plin-plan aja."

"Aku plin-plan?"

"He'em. Dari kecil, dan nggak berubah sampe sekarang."

Aku? Plin-plan? Kapan?

"Inget, nggak? Dulu waktu TK kamu pernah beli enam robot-robotan dengan model yang sama persis, cuma karna kamu bingung milih warna." Tifani tertawa di bagian akhir.

Masa, sih? Aku tidak ingat. Ingatan terlamaku hanya sebatas kelas tiga SD. Itupun kini sudah mulai samar-samar.

"Aku bingung sama kamu, Sa! Kadang peka, kadang bodo amat. Kamu mood-moodan apa gimana, sih?!"

Jadi, selama ini aku tidak sadar kalo aku punya sifat plin-plan? Itukah sebabnya aku kadang bisa kepikiran sesuatu sampe berlarut-larut? Dan bisa membodoamatkan sesuatu sampai kelihatan bodoh?

Ohh ... ternyata aku cuma plin-plan Zee :D

"Kamu juga pernah berdiri hampir satu jam di stan jus waktu festival tujuh belasan cuma karna bingung milih buah." Tifani memanyunkan bibir ketika mengucapkan, "Aku sampe habis empat gelas tau gara-gara nungguin kamu!"

ZenithWhere stories live. Discover now