50 - Another Nightmare

194 60 8
                                    

Tempat asing. Aku tidak tahu di mana aku berada saat ini. Yang kulihat hanyalah sebuah rumah sederhana yang penuh dengan bunga dan tanaman hias. Catnya biru, sebiru langit cerah yang tengah memayungiku. Ada sepasang kursi lengkap dengan sebuah meja di terasnya. Teko dan cangkir dengan uap membubung lembut juga tertata rapi di sana.

Pemiliknya pastilah orang yang suka ketenangan. Lebih-lebih pemandangan di depan rumahnya juga sangat memanjakan mata. Sawah terbentang luas di seberang jalan ditambah dengan perbukitan di ujung hamparan tersebut yang tampaknya lumayan dekat.

Tapi ... di manakah sang tuan rumah?

Kenapa sepi sekali sampai-sampai hanya cericip burung yang kudengar?

Kulangkahkan kaki mendekati sebuah mobil yang terparkir rapi di luar pagar kayu. Kap mesinnya terbuka lebar dan peralatan reparasi tercecer tak beraturan di dekatnya.

Lagi, aku menyusuri halaman rumah yang lumayan lapang ini. Aku menyadari satu hal, jarak antar rumahnya cukup jauh. Selalu dipisahkan oleh lahan kosong atau pepohonan muda.

Langkah tanpa arah ini ternyata membawaku pada taman kecil berisikan berbagai jenis bunga di bawah naungan pohon rindang. Pancaronanya bahkan mampu menarik perhatian kupu-kupu cantik untuk berkumpul.

Tiba-tiba, dari arah belakangku muncul seorang gadis kecil. Ia berlari semangat menuju taman bunga tersebut meski masih memakai piama tidurnya. Rambutnya ikal sebahu dan tampak manis ketika tersenyum.

Sang gadis membuka botol yang ia genggam, lalu mencelupkan tongkat dengan ujung lingkaran yang ia bawa ke dalamnya. Tangannya lantas terayun bebas, membuat gelembung sabun berbagai ukuran keluar dari tongkat yang ia pegang.

Kadang dia meniupnya sampai gelembung itu jatuh ke genangan air dan memantul sebentar sebelum akhirnya pecah. Bahkan, sesekali dia juga terjatuh sampai gaun tidur yang dikenakannya kotor oleh tanah basah. Si mungil tertawa girang, hingga tiba-tiba teriakan seorang pria paruh baya mengagetkan kami berdua.

"JENI!"

Si gadis kecil berhenti dengan sisa-sisa gelembung yang masih melayang di sekitarnya. Pria itu berjalan cepat dan tegas mendekati si mungil. Wajah sang pria terlihat sangat marah hingga raut bahagia anak tersebut berganti menjadi ketakutan.

"KAMU NGAPAIN, HAH?!" bentak si pria paruh baya sembari mencengkeram kuat lengan kiri anak itu. Dia kemudian memperlihatkan beberapa alat reparasi yang masih dipegangnya di tangan kiri. "Nggak liat ini lagi benerin mobil?! Malah mainan sabun! GANGGU!"

Aku jelas terkejut mendengarnya. Kulihat si gadis hanya diam, tak memberi balasan apa pun.

"Bukannya sekolah yang bener malah main aja yang dipikirin!" Pria itu menarik lengan si mungil hingga tubuhnya sedikit berputar. "Ini apa lagi, nih? Bajunya kotor, kan! MIKIR! Baju putih malah dikotorin. Nyusahin aja sih bisanya!"

Kepala anak itu kontan tertunduk takut, berusaha menghindari tatapan nyalang si pria. Sementara aku masih diam di tempat menyaksikan adegan tersebut. Berusaha memahami situasi yang tengah terjadi.

"KALO DIBILANGIN ITU LIAT ORANGNYA!" hardik si paruh baya untuk yang kesekian kali. Ia lantas semakin menguatkan cengkeraman di lengan si mungil sampai-sampai gadis itu harus berjinjit.

Aku spontan angkat suara, "Hei, Pak! Anda harusnya nggak sekasar itu sama anak kecil—"

"Sakit, Ayah...."

Ringisan itu membuatku membatu seketika. "Ayah?" Lalu kembali kuluruskan pandang menghadap si pria seraya melanjutkan, "Dia bahkan anakmu sendiri, Pak!"

"Sakit?! Kamu lahir di dunia ini aja udah nyakitin banyak orang!"

Hatiku mencelos mendengarnya, sedangkan gadis itu telah berkaca-kaca, siap untuk menjatuhkan muatannya dari pelupuk mata.

"Kayaknya kamu emang harus dikurung lagi biar kapok!"

Sang ayah langsung menarik paksa lengan anaknya. Aku tak tinggal diam, tanganku langsung terulur untuk meraih gadis itu. Namun, alangkah terkejutnya diriku saat melihat tanganku menembus tubuh gadis tersebut.

Apa ini? Kucoba lagi, mencekal lengan gadis itu. Sama saja, tetap gagal. Ia masih terseok-seok mengikuti langkah tegas ayahnya. Detik itu aku menyadari satu hal mencengangkan tentang diriku sendiri.

Aku transparan, entah sejak kapan.

Kembali kufokuskan atensi ke gadis kecil itu, memandangnya iba. Sungguh memfrustasikan melihat ketidakadilan di depan mata, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa. Hati nuraniku menjerit, lakukan sesuatu! Tapi aku bahkan tidak bisa menyentuhnya.

Mendadak si gadis menarik kuat-kuat tangannya dari cengkeraman sang ayah. Meskipun masih tidak terlepas, tetapi perlawanan tiba-tiba itu ternyata mampu membuat ayahnya terhuyung nyaris jatuh.

"Berani ngelawan kamu?!"

"Aku nggak mau dikurung, Yah! Di sana seram. Aku nggak mau!"

Ayahnya kelihatan makin murka. "Masih mending cuma dikurung di gudang! Anak haram kayak kamu seharusnya nggak pernah ada di dunia ini! Nyusahin! Bikin hancur! KAMU SEHARUSNYA NGGAK PERNAH ADA!"

"HENDRAA!"

Deg.

Napasku tercekat dengan mata membulat sempurna. Sekujur tubuhku sontak meremang menyaksikan sang ayah yang dengan bengis menusuk anaknya sendiri. Darah mengucur deras dari dada kiri gadis itu. Sebuah obeng telah tertancap begitu dalam hingga hanya pegangannya saja yang kini terlihat.

Dalam deraian air mata, si gadis langsung jatuh menyamping dengan mata mencelang nanar dan mulut sedikit terbuka.

Seorang wanita paruh baya—yang beberapa saat lalu meneriakkan nama si pria—berlari tergopoh-gopoh menghampiri putrinya yang tergeletak tak sadarkan diri di tanah basah.

Tubuhku semakin bergetar tak karuan tatkala mendengar tangis histeris sang wanita. Tidak ada pergerakan barang sedikit saja dari gadis kecil dalam dekapannya. Anak itu seperti sudah tak bernyawa.

Kakiku lemas luar biasa. Walau tidak mengenalnya, entah kenapa dadaku terasa sesak melihatnya terbujur kaku di sana. Anak itu tak pantas mati untuk keadaan bagaimana dia dilahirkan. Dia pun pasti tidak ingin dilahirkan sebagai anak haram, kan?

Detik berikutnya, aku tersentak bangun dari mimpi burukku. Dalam remang-remang, netraku bergerak cepat menelisik plafon kamar sambil berupaya menetralkan degup jantungku yang berpacu lebih cepat dari detikan jarum jam.

Suhu ruangan jadi lumayan panas hingga keringatku membasahi seprai dan bantal. Pembunuhan itu terasa nyata untuk sekadar disebut bunga tidur. Eh, sebentar....

Apa gadis itu benar-benar mati?

Dan siapakah dia hingga membuatku bisa merasakan penderitaannya?





・ • • ━━━━♦️━━━━ • • ・

Ada yang mau berteori tentang chapter ini?

ZenithWhere stories live. Discover now