46 - Sebuah Kampanye Hati

903 102 31
                                    

"Yok, semuanya bareng-bareng, ya!" ajak seorang laki-laki di tengah area lomba. Irama dari ukulele birunya senantiasa mengalun merdu, membawa para penonton untuk menyuarakan lanjutan liriknya bersama-sama. Tak terkecuali Tifani yang duduk manis di sebelahku.

Ya! Mengenai keputusanku kemarin, aku tidak akan main-main. Makanya sekarang aku mulai mendekatkan diri kepada Tifani. Sekalian ingin membuktikan ungkapan para sesepuh; cinta datang karena terbiasa.

"Tahu nggak? Dia nyanyi lagu ini buat ngode gebetannya, loh, Sa."

Aku hanya menggumam karena mulut telah dipenuhi oleh chicken balado yang kami beli sebelum merapat ke sini. Lalu setelah menelannya, aku baru bisa merespon, "Tau dari mana?"

"Ish, dia kan temen sekelasku, Sa. Kamu perhatiin apa dari tadi?" Tifani menatapku sambil mengerutkan dahi. Sepersekian detik kemudian, sorot matanya menyipit curiga. "Kamu nunggu kelasnya Zee, ya?"

Kok jadi 'dia'?

"Gak," sambarku. "Jangan nyebut-nyebut nama dia, Fan."

"Kenapa?"

"Aku mau fokus sama kamu."

Tifani kicep.

Ah, kenapa aku jadi mirip fakboi?

Pokoknya, sesulit apa pun prosesnya, seberjibun apa pun ganjalannya, aku harus bisa. Toh ada Tifani di sisiku, jadi tidak akan seberat yang kubayangkan.

Kan, mengganti lebih mudah daripada melupakan. Hehe.

Acara terus berjalan. Dua kelas sudah selesai menampilkan kemampuan tarik suaranya. Namun gelagat Tifani masih saja terlihat aneh. Aku tertawa dalam hati. Lucu juga melihatnya salah tingkah.

Ada jeda beberapa menit sebelum acara berlanjut. Aku menepukkan kedua tanganku agar bersih dari bumbu balado, lalu merubah posisi dudukku dari yang semula bersila menjadi memeluk lutut.

Fyi, kami duduk tanpa alas bak gelandangan di lapangan basket--yang sekarang beralih fungsi jadi tempat lomba. Jadi, tolong jangan bayangkan kursi-kursi berjajar rapi menghadap langsung ke panggung.

Tidak! Tidak ada kursi, panggung pun hanya khusus didirikan untuk hari puncak classmeet, dua hari lagi.

Tifani menawarkan camilannya di waktu yang tidak tepat. Tanganku terlanjur nyaman menyandang posisi ini. Maka dari itu aku memilih membuka mulut, memberi isyarat padanya supaya menyuapkan makanan tersebut.

Agak kaku, tapi sepotong nugget berbalur saus pedas berhasil masuk ke mulut. Kemudian aku dibuat tidak tenang oleh host yang sekonyong-konyong menyerukan nama Zee beserta kelas yang ia wakili.

Dari arah utara, atau sisi kanan dari tempatku duduk, Zee menampakkan diri. Dia mengenakan cardigan hitam dan sedang berjalan ke tengah arena seraya menenteng gitar. Uraian rambutnya terlihat berkilau setiap kali terkena pancaran mentari, hingga tanpa sadar, bibirku membentuk lengkungan tipis.

Cantik—

Hais ... sadar, Arsa!

Kulihat dia mulai mendudukkan diri di kursi, mencari pose yang nyaman selama beberapa detik dan mulai memetik gitar di pangkuannya. Aku mengernyit kala alunan nadanya merebak masuk ke telinga.

Kok beda lagi?

"Everybody's laughing in my world🎶"

Wah, Inggris! Hal ini jelas mengundang perhatian penonton, mengingat sejak tadi lagu yang ditampilkan selalu lokal.

"🎶Rumors spreading
'bout this other girl."

"Do you do what you did,
when you did with me?🎶"


"🎶Does she love you the way I can?"

Hah? Tunggu sebentar. Ini bukan kode, 'kan? Kenapa liriknya terasa sedikit ... menyindir? Jangan-jangan benar kata Tifani, perlombaan tarik suara selalu dimanfaatkan jadi ajang kampanye hati.

"You said you needed a little
time from my mistakes🎶"


"🎶It's funny how you used
that time to have me replaced."

Zee terus bernyanyi dengan nyaman walau penonton fokus memperhatikannya. Ia tak terganggu sedikit pun, auranya tetap tenang. Penghayatannya juga sungguh lihai.

Orang-orang yang berlalu-lalang pun banyak yang berhenti, tak sedikit pula dari mereka yang tertarik untuk ikut merapat kemari.

Lamat-lamat, terdengar senandung kecil menyelimuti penampilan Zee, membuat suasana pagi-menjelang-siang ini semakin syahdu.

"I need to know should I fight
for our love or disarm?🎶"


"🎶It's getting harder to shield ..."

Mata Zee terpejam seiring nada lagu yang kian meninggi. Begitu kembali terbuka, iris cokelatnya langsung mengarah tepat kepadaku sambil mengucap lirik:

"... this pain in my heart, ooh~"

Spontan aku bertanya-tanya. Kok rasanya kalimat itu seperti sengaja ditujukan padaku?

"🎶I never should've let you go...."

"That should be me🎶"

Jelas ini sindiran.










・ • • ━━━♦️━━━ • • ・

Song:
• Justin Bieber - That Should Be Me.

Tapi di sini pakai yang covernya Maddi Jane, guys, biar sudut pandangnya sama-sama cewek.
Nah, buat yang belum tau nadanya, bisa cek mulmed yaa!


Bab selanjutnya,
publish tanggal 7 Mei:

47 - Costume Parade

ZenithWhere stories live. Discover now