35 - The Truth; Suara Batin (b)

920 110 5
                                    

"Aku bisa denger suara batin orang, Sa."

Mematung. Benar-benar seperti patung saat kalimat itu mencelus ke telinga. Bukan karena tak percaya, tapi karena tiba-tiba aku merasa seperti tertangkap basah. Mengingat aku sering mengomentari hoodie kuningnya, dapat kupastikan seberapa jengkelnya Zee padaku dulu.

"Damar yang batin nasi goreng telur dadar itu. Sumpah, dia care banget orangnya." ujar Zee. Dia kemudian menyendokkan yogourt ke mulut, memberi jeda beberapa saat. "Aku lagi liat daftar nama kelasnya Key saat kamu masuk lobi sambil batin perkenalan ala narasi film."

Narasi film, hm? Aku mengerti sekarang.

Zee bersuara lagi, "Hari jumat, aku disuruh ngambil fotokopian jadwal baru di koperasi samping kelasmu. Eh sampe sana jadwalnya malah belum diapa-apain. Nah, pas nunggu itu aku denger kamu ngatain aku kayak pisang raksasa berjalan. Ya aku sebel lah!"

"Bukan karena kertas yang kamu bawa?" tanyaku saat teringat kertas yang digenggamnya, kukira dia kena peringatan BK.

"Bukan. Itu kertas isinya nama-nama murid yang dipanggil ke ruang BK. Bu Nia minta tolong aku buat manggilin mereka."

"Ooohh"

"Aku inget waktu kamu ngatain aku nggak punya malu."

Nah, kan... dia tau. Bibirku hampir mengucap maaf kalau saja tidak keduluan oleh Zee.

"Nggak apa, emang bener kok. Aku nggak punya malu karena aku punya kaca dimana-mana. Saat aku denger kritikan soal penampilan ataupun caraku bersikap, aku bisa langsung benerin. Just like I look in the mirror."

"Tetep aja, aku ngerasa kejam udah ngatain kamu walau nggak secara langsung." jujurku. "Maaf, Zee..."

Zee tersenyum kecil, "Kamu nggak akan bilang gitu kalo tau keseluruhan ceritanya." Dahi Zee kemudian tampak berkerut, "Eh? Kamu ... percaya aku bisa denger suara batin?"

"Percaya lah!" jawabku enteng. "Kenapa? Kamu bohong lagi?"

"Enggak, kok! Untuk sore ini, aku bakal berusaha buat jujur."

"Kalo emang jujur, kenapa nanya gitu?"

Zee menggeleng, "Aku heran aja. Kok kamu bisa percaya semudah itu? Nggak kaget, nggak ragu. Kamu bahkan nggak ngetes aku kayak yang lain."

"Hal-hal semacam itu 'kan emang ada." responku setelah terkekeh pelan. "Kamu tau? Sejak kecil aku selalu pengen punya kekuatan super. Kayak super hero di komik-komik gitu!"

Zee tertawa. Dan itu melegakan.

"Oh iya, Zee ... Sejak kapan kamu bisa gitu?"

"Sejak kecil. Umur tujuh tahunan, deh, kayaknya."

"Kok bisa gitu, awalnya gimana? Kamu berguru? Atau bawaan lahir?"

"Dikasih." jawabnya santai seraya mengangguk-angguk pelan.

"Siapa?"

"Adaalaaahhh ... rahasia!" ujarnya dengan wajah menyebalkan. Beberapa detik kemudian Zee mengusap tulang keringnya, "Masalah Brianda udah clear atau masih harus dijelasin?"

"Gak usah," aku menjawab, "aku udah paham."

Sangat paham malah.

Semua jadi jelas sekarang. Gerak-gerik anehnya, reaksi eksentriknya, senyum mencurigakannya.

Mungkin pandanganku padanya sedikit demi sedikit akan berubah. Dan aku juga mulai memahami kebiasaan bohongnya. Meskipun tetap harus dikurangi.

Lalu tentang kekecewaan, kurasa tidak masalah. Toh, Zee juga sudah memberitahuku lebih dulu kalau dia menyembunyikan sesuatu. Jadi aku tidak terlalu kecewa.

Setelah diingat-ingat lagi, sebenarnya Zee sudah menunjukkan kelebihannya itu —secara samar-samar— di awal pertemuan kami. Akunya saja yang tidak sadar.

Jujur saja, dia lumayan manis. Walau bukan tipeku.

Aku ingat pernah membatin itu saat Zee unjuk senyum pertama kali. Pasti dua kalimat itu yang memancingnya. Mana mungkin Zee tiba-tiba mengatai orang yang ia mintai tolong seperti itu!

"Aku mulai ngehindarin kamu sejak senin pagi," Zee memecah keheningan. "tapi mungkin kamu sadarnya baru beberapa hari setelahnya."

Aku berusaha mengingat kembali,  siapa tau aku sedang membatin sesuatu yang melukai perasaannya saat itu. "Itu senin setelah kamu ngelirik sinis, 'kan? Berarti gara-gara aku katain pisang, ya?"

Menggeleng, Zee menjawab, "Aku ngehindar karena kamu mau ngajak kenalan."

"Lah? Kok gitu?" aku memandang Zee dengan raut bingung yang teramat kentara. Namun Zee bahkan tidak membalas pandanganku itu.

Dia membiarkan suara halus angin mengambil alih.

Aku tetap mengamatinya dari samping demi jawaban. Zee pasti tau aku sedang menunggu responnya, jadi untuk sementara aku akan diam menunggu.

Keheningan diantara kami ternyata berlangsung lumayan lama. Beruntungnya, masih ada senandung yang dicuitkan oleh burung-burung.

Saking tenangnya, aku bahkan bisa mendengar suara gemericik air di tepi padang.

Beberapa menit berlalu tanpa ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Bukankah ini sudah cukup lama?

"Zee?" tegurku karena tampaknya dia malah melamun.

Akhirnya dia membalas tatapanku juga.

Tapi...



・ • • ━━━♦️━━━ • • ・

Makasih buat yang kemarin spam comment😁 Seneng banget rasanya, asli dah! Luv gede buat kaliann💛💛💛

ZenithWhere stories live. Discover now