22 - Kamu Memang Galak!

863 114 17
                                    

Tiga perempuan berpenampilan amburadul lari terbirit-birit dari lahan kosong dekat gudang. Salah satunya yang aku tau, bernama Brianda –cewek yang dulu pernah mengungkapkan perasaannya padaku.

Bersamaan dengan itu terdengar teriakan garang cewek yang kukenal.

"HEHH ... SINI MAJU LO!! GAYANYA DOANG SOK-SOKAN. GILIRAN DITANTANGIN BALIK JUGA CIUT KAN!!"

Itu Zee.

Dia juga keluar dari lahan kosong tersebut, tapi tidak sampai mengejar cewek-cewek tadi. Rambutnya berantakan, seragam sekolahnya pun juga tak lebih baik dari rambutnya.

Sedikit terkejut karena ini kali pertama kudengar dia memakai logat lo-gue.

Zee sekonyong-konyong menoleh kepadaku seakan dia tau benar posisiku. Ekspresinya berubah seratus delapan puluh derajat, "Hai, Arsa!" sapanya seraya melambaikan tangan.

Aku mendatanginya, "Bener aku, 'kan? Kamu galak!"

"Enggak, kok! Tadi cuma akting biar mereka takut." Setelah mengucapkan itu, alis Zee terangkat seperti teringat sesuatu. Dia pun menoleh ke lahan kosong, "Key, udah Key!"

Sesuai instruksi, Keira keluar dari balik tong di sudut lahan. Oh, jadi dia merekamnya agar punya bukti bila sewaktu-waktu dilaporkan ke BK? Cerdas!

"Iya-iya, udah gue stop kok." ujar Keira sambil mengotak-atik handphone.

"Jangan bohong!"

Keira meringis, "Tau aja lo kalo gue boong." Mendapat tatapan tajam, Keira kembali bersuara, "Iya-iya, entar gue cut! Lagian si Arsa juga nggak ngapa-ngapain kok. Emang dia benerin rambut lo? Atau nanyain lo luka nggak sambil pegang tangan lo yang berdarah? Enggak, 'kan! Ribet banget."

Aku mengernyit, "Tanganmu luka, Zee?" Aku lantas meraih tangannya, mencari luka berdarah yang dibicarakan Keira.

"Telat! Masa harus dikode dulu." komen Keira.

"Bawel lo!" kesalku karena dia sewot di saat yang tidak tepat.

"Biarin!" Sahabat Zee ini kemudian menghela napas, "Nyamuknya banyak ya!" dia menepuk angin di sekitarnya, berlagak seperti sedang membasmi nyamuk sambil berjalan menjauh. "Duh, pake nggigit lagi!" serunya dari kejauhan.

Zee tertawa seolah luka cakar di tangan kirinya itu cuma fantasi.

Gila aja cakaran manusia bisa sampai berdarah gini. Brianda itu siluman atau apa sebenarnya?

"Enggak sakit kok, Sa!" ujar Zee menghentikanku yang sedang meniupi lukanya. "Di UKS juga ada betadine, jadi nggak usah khawatir."

"Siapa yang nyakar? Brianda atau dayangnya?"

"Kucing liar," jawabnya terkekeh.

Zee mencepol rambutnya dengan jedai setelah selesai menyugarnya. Sesudah itu dia menepuk-nepuk seragam bagian bawah dan roknya agar bersih dari debu.

"Kenapa kamu gak bilang aku aja?"

"Dan jadi pengadu?" Zee menyahut cepat. "Enggak, aku mending ngadepin sendiri dan sekarat daripada ngadu. Lagian aku juga nggak terbiasa. Aku kan, nggak punya siapa-siapa buat ngadu."

Benar, tidak ada orang yang bisa dia jadikan tempat mengadu.

Tanganku terangkat untuk mengacak rambutnya, "Kamu punya aku. Kalau ada apa-apa bilang aja."

Zee tersenyum pepsodent, "Iya!"

Hanya itu. Aku tidak akan memberinya kalimat bullshit seperti; Aku akan selalu ada buat kamu.

Tidak! Itu terlalu sulit untuk ditepati.

Kami berjalan beriringan menuju UKS. Untung kaki Zee tidak apa-apa, jadi bisa berjalan sendiri. Tapi kalaupun sakit, aku dengan senang hati akan menggendongnya.

Ngehe.

Lalu pembicaraan yang ada hanya seputar peristiwa penglabrakkan tadi. Namun sebelum itu...

"Kamu bilang gak suka ngadu, 'kan?"

Dia menjawab singkat, "Iya,"

"Tapi kok aku pernah liat kamu ngadu ke Keira?"

"Please, deh, Sa! Kamu harus bisa bedain antara ngadu sama curhat."

Tuh, kan! Dia sepertinya pintar alasan.

・ • • ━━━♦️━━━ • • ・

ZenithWhere stories live. Discover now