36 - The Truth; About Feeling (c)

1K 123 13
                                    

Akhirnya ... dia membalas tatapanku juga.

Tapi tindakannya itu datang bersama cengiran lebar tanpa dihiasi guratan senang sehingga terlihat seperti menyeringai. Dan sorot matanya begitu menusuk saat bertemu dengan iris hitamku.

Jujur saja, atmosfernya tiba-tiba terasa mencekam. Perubahan rautnya juga membuatku bertanya-tanya. Kalaupun dia memang berniat untuk bohong lagi, aku tidak akan kaget. Tapi, apa perlu dia memasang wajah macam itu?

"Kamu yakin nanyain itu?" tanyanya.

Dahiku berkerut, tak mengerti maksudnya.

"Aku tau kamu nganggep aku pembohong sejak Jumat kemarin. Dan rasanya aneh karena aku dikatain pembohong sama pembohong." ucap Zee yang kian membuatku bingung.

"Ayolah, Sa! Cuma ada kita berdua disini. Nggak usah pura-pura, nggak usah jaga image. Lagian aku juga udah tau apa yang kamu nggak kasih tau." tambahnya.

"Zee, aku—"

"Aku tau kamu ngajak kenalan buat jebak friendzone, 'kan?" tandasnya tiba-tiba. "Makanya aku ambil langkah buat selalu ngehindar tiap kali kamu mau ngomong."

Tak bisa mengelak. Memang aku yang salah karena menyisipkan niat buruk ke pertemanan. Kulihat Zee mengambil dua mangkuk kaca kecil yang atasnya ditutup plastik dan berisi sesuatu seperti cream berwarna pink kental dengan topping irisan buah kiwi.

"Lagian itu juga pembalasan buat sikap kamu." ujar Zee sembari memberikan salah satu mangkuk di tangannya kepadaku. Sedikit merasa lega karena ekspresinya sudah mulai biasa.

"Hah?"

"Aku diceritain tentang gimana egoisnya kamu. Seberapa banyak cewek yang hatinya udah kamu patahin. Seberapa banyak harapan yang kamu jatuhin. Aku tau, baik kamu atau cewek-cewek itu, kalian sama salahnya. Ceweknya ketinggian berharap, cowoknya seneng dikejar-kejar." Zee menatapku. "Tapi aku cewek, Sa."

"Dan prinsipku balas dendam." sambungnya.

"Nggak usah Key! Aku cinta damai, inget?"
"Cinta damai apaan! Bohong banget! Lo kan dendaman,"

Ternyata bukan candaan, ya?

"Balas dendam?" tanyaku memastikan. Percakapan ini, pemikiran ini, entah kenapa tidak seperti Zee.

Dia mengangguk, "Ya, balas dendam. Apalagi emang namanya?" jawabnya enteng. "Mereka itu lemah, dan terlalu amatir. Di sisi lain, kamu itu gengsian, dan sedikit egois."

Aku agak bergidik ngeri tatkala gadis di sebelahku tiba-tiba saja tertawa.

"Gila, gue pro banget!" pujinya pada diri sendiri. Kaget juga, sih, karena Zee tiba-tiba berlogat lo-gue. "Dari awal aku emang berniat buat ngasih pelajaran ke kamu. Aku nempatin kamu di posisi cewek-cewek itu, biar kamu ngerasain sakitnya patah hati itu gimana."

Mataku melebar, bahkan tak bisa berkedip saat mendengar penuturan Zee.

"Aku sengaja ngasih respon positif seolah-olah aku juga suka sama kamu. Lalu setelah kamu bener-bener bucin," Zee membanting mangkuk kosongnya ke arah batu besar di dekatnya, "kuhancurin hatimu. And finally, you lose!"

Aku mematung di tempat. Dadaku sesak. Pikiranku melayang entah kemana. Padahal aku sudah mulai meyakinkan perasaanku padanya, tapi ternyata aku hanya dipermainkan. Kecewa dan marah bergemuruh bak badai petir.

Astaga, kenapa Tuhan terus mempertemukanku dengan orang-orang bermuka dua seperti ini?

"Kalo kamu terus mertahanin sifat jelek kamu, kamu bakal ketemu orang-orang itu terus." saran Zee. "Kamu seharusnya belajar dari Tifani. Introspeksi diri. Jangan mentang-mentang kamu ganteng terus seenaknya umbar harapan. Aku yakin kalo kamu nolak secara jelas dan berhenti ngasih respon yang baperin, mereka juga akan mundur perlahan, kok!" Zee menjeda ucapannya sejenak. "Kasus kamu emang bingungin, sih! Tapi sebagai cewek, sifat plin-plan kamu itu nyusahin—"

"Kamu beneran cuma balas dendam?" tanyaku seraya menatapnya. "Kamu ... gak ada rasa apa-apa sama aku?"

Zee sedikit mengernyit namun tak berselang lama kembali menetralkannya. Dia menggeleng pelan,  "Nggak sedikit pun."

"Bahkan setelah selama ini?"

"Ya."

"Kenapa?" Aku tau pertanyaan ini tidak rasional. Hanya saja ... aku tidak mengerti. Kita melewati banyak momen bersama. Aku bahkan selalu menghabiskan weekend dirumahnya. Apa aku salah mengartikan gerak-geriknya?

"Karena aku nggak bisa." jawab Zee. "Aku cuma perantara karma Tuhan, yang suatu saat bakal kena karma juga."

Aku kembali menghadap ke depan. Menatap pecahan kaca dari mangkuk yang Zee lempar tadi, yang persis seperti visualisasi perasaanku sekarang; Ambyar.

Matahari kian ke bawah, nyaris menyentuh siluet pepohonan yang berada jauh dari sini. Kurasa tugasku sudah selesai.

Aku bangkit dari dudukku sesudah mengatakan, "Well, kurasa kamu menang. Makasih buat makanan dan jawabannya. Aku balik duluan."

"E-e-e-eh! Nggak bisa gitu, dong!" Zee mencekal lenganku hingga membuatku terhenti melangkah dan menoleh menatapnya. "Mataharinya 'kan belum bener-bener tenggelam!"

"Kenapa emang?"

"Loh, kok, kenapa sih?! Kamu mau ngingkarin janji kamu, ya!"

Aku membalikkan seluruh tubuhku agar dapat berdiri berhadapan dengannya. "Kenapa emang kalo aku pergi? Apa ada bedanya aku pergi sama tetep disini?"

Zee merapatkan bibirnya selama beberapa detik. Dan kebungkamannya itu cukup untuk menjawab pertanyaanku.

Aku berbalik, hendak melanjutkan langkahku yang sempat terhenti ketika tiba-tiba suara Zee berhasil mengurungkan niatku untuk kedua kalinya.

"Kamu mau aku ngomong apa?" katanya dengan nada putus asa. "Kenapa kamu masih berharap kalo aku ada rasa sama kamu?"

Memandangnya lama sebelum akhirnya aku menjawab, "Karena harapan itu masih ada."

Zee menggeram dengan tangan seperti akan mencakar, "Kenapa sih kamu nggak ngerti!"

"Apanya yang gak aku ngerti, Zee?"

"SEMUANYA!"

Aku menatapnya bingung, lalu menanggapinya lagi,  "Terus kenapa kamu nyuruh aku buat tetep disini? Kalo kamu emang niat mainin aku, kamu harusnya seneng karena aku udah kecewa sekarang. Kenapa kamu pengen aku disini kalo kamu gak ngerasain apa-apa selama sama aku?"

Lagi-lagi Zee tidak bisa menjawab. Tubuhnya diam di tempat, hanya matanya saja yang bergerak menatapku.

"Kamu kayak lagi bohongin perasaan kamu sendiri, Zee!"

"Perasaan apa lagi?! Kenapa kamu sok tau?!"

"Aku tau dari mata kamu. Apa mata bisa semenipu itu?"

"Iya! Mata itu penipu! Apa yang bisa kamu liat nggak sebanding sama apa yang nggak bisa kamu liat. Dan kamu masih ngandelin mata?!"

Alisku bertaut. Kulihat Zee sedang mengontrol pernapasannya. Menarik napas dan membuangnya perlahan beberapa kali. Dan rasanya aneh melihat Zee yang sekarang berdiri di depanku. Dia seperti terbebani.

Lalu terlintas senyum Zee di berbagai ekspresi wajah. Aku merindukan senyum itu sekarang. Dimana kamu menyembunyikannya, Zee?

Biarkan aku melihat senyum itu terbit di raut ceriamu sekali lagi. Sebab sepanjang petang ini, senyum yang kamu sajikan terasa asing.

"Aku bisa sihir, Sa."

HAH?!!

・ • • ━━━♦️━━━ • • ・

ZenithWhere stories live. Discover now