Ch.3 No More Rhyme

94.6K 7.2K 124
                                    

Aku mengenal Bayu di salah satu acara yang diadakan oleh Persatuan Pelajar Indonesia di Sydney. Sejujurnya, aku sangat jarang mengikuti acara yang diadakan PPI. Bukannya sombong, tapi aku butuh waktu lama untuk beradaptasi tinggal sendiri di negara orang dan jadwal kuliah yang membuatku pusing setengah mati.

Di acara itulah aku mengenal Bayu. Kebetulan juga saat itu dia tengah menjabat sebagai ketua PPI. Sejak acara itu, Bayu sangat membantuku, terlebih dalam masa penyesuaian diri. Kalau tidak ada Bayu, mungkin aku sudah gila.

Bayu begitu tulus membantuku. Dia bahkan tidak keberatan menemuiku meskipun kita berbeda kampus. Aku kuliah di University of Technology Sydney, sementara Bayu tengah menyelesaikan program S2 di University of Sydney. Sosoknya sangat dewasa dan penuh semangat, membuat hari-hariku di Sydney yang tadinya kusam jadi lebih berwarna.

Aku masih ingat ketika Bayu menembakku. Saat itu kami bertingkah seperti turis mengunjungi Opera House di salah satu akhir pekan. Untuk pertama kalinya, Bayu menciumku. Jujur saja, saat itu aku sangat kaget. Tidak ada tanda-tanda dia menyukaiku, apalagi tengah mendekatiku. Lalu, dia menciumku begitu saja.

"Sorry. I can't help myself."

Namun aku tahu dia sama sekali tidak menyesal.

Dan aku pun tidak keberatan.

Aku malah membalas ciumannya sore itu. Sepulangnya dari Opera House, kami resmi berpacaran.

Di mata orang lain, kami adalah pasangan serasi. College sweetheart. PPI most favorite couple. Dan banyak julukan lain yang disematkan kepada kami. Posisi Bayu sebagai ketua PPI otomatis membuatku dikenal anggota lainnya. Aku yang tadinya dinilai sombong karena selalu menolak diajak bergabung di acara PPI dan disebut anti berteman dengan sesama mahasiswa Indonesia, sekarang sudah berubah. Toh aku juga sering mengikuti acara mahasiswa Indonesia, meski sebagian besar alasanku adalah karena Bayu.

Satu hal yang membuatku jatuh cinta kepada Bayu adalah sikapnya yang dewasa dan mengayomi. Dan, dia sangat pintar. Aku memang gampang luluh dengan orang pintar yang membuatku terkagum-kagum dengan isi otaknya, mengingat selama ini aku lebih menyukai kelas seni ketimbang ekonomi atau matematika dan sejenisnya. Menurutku, Bayu bukan orang yang pintar secara textbook. Dia punya wawasan luas dan berdiskusi dengan Bayu selalu sukses membuatku menemukan hal baru.

Jangan bilang siapa-siapa, karena otaknya yang cerdas itulah yang membuatku turn on kepadanya.

Bayu menyelesaikan kuliahnya lebih dulu dan dia harus pulang ke Jakarta untuk bekerja. Kepulangan Bayu menjadi momen yang terasa sangat berat untukku. Selama ini ada dia yang menemaniku, tapi setelah ini aku harus sendiri. Sebelum dia pulang, Bayu memperkenalkanku kepada orang-orang yang dia rasa penting untukku dan siap membantuku jika aku butuh bantuan dan dia tidak ada. Intinya, dia mempersiapkanku untuk ditinggal sendiri.

Meskipun begitu, tetap saja rasanya beda dibanding saat dia masih ada di dekatku.

Selama dua tahun, aku menjalani hubungan jarak jauh dengan Bayu. Tidak ada yang berbeda. Sesekali, Bayu menemuiku di Sydney atau aku pulang saat lebaran sehingga kami bisa bertemu.

Beberapa bulan setelah aku pulang ke Jakarta dan kembali tinggal di kota yang sama dengan Bayu, aku mulai menemukan beberapa perubahan dalam dirinya. Melihatnya langsung dengan mata kepalaku sendiri membuatku merasa asing dengannya. Seolah-olah dia bukan lagi Bayu yang aku kenal.

Bayu yang ada di depanku sekarang tak lebih dari seorang pesimis yang hidup dari hari ke hari tanpa ada gairah lagi di matanya. Dia jadi sering mengeluh dan memandang hidupnya tidak ada artinya. Terlebih, dia mengeluhkan pekerjaannya. Namun, dia tidak mau berhenti.

"Kalau aku enggak kerja, gimana caraku membiayai hidup?" Dia beralasan. Ucapannya sangat berbanding terbalik dengan apa yang pernah diucapkannya kepadaku dua tahun lalu.

"Aku enggak akan pernah jadi corporate slave. Gila apa aku diperbudak pekerjaan mentang-mentang itu yang memberiku gaji? Uang bisa dicari di mana saja, tapi integritas yang kupunya itu enggak bisa diperjualbelikan."

Sekarang, dia malah dengan sadar diri menggadaikan integritasnya.

Aku berusaha mengingatkannya, mengembalikan semangatnya, dan membuatnya melihat seperti apa dirinya yang sebenarnya. Namun, Bayu hanya tersenyum sinis.

"Kamu kalau resign bisa kembali ke orangtuamu. Kamu enggak akan pernah ngerasain yang namanya hidup susah. Sejak kecil kamu selalu dapetin apa yang kamu mau tanpa perlu berusaha." Bayu berkata seperti itu.

Perkataannya menyakitiku. Dia tahu betul aku tidak suka dianggap anak orang kaya manja yang selamanya hanya mengandalkan harta orangtua. Bayu tahu betul betapa aku tersakiti dengan stigma yang dilekatkan kepadaku. Dulu, dia mengerti posisiku. Namun, sekarang dia malah menyakitiku seperti itu.

Keadaan keluargaku dan Bayu memang bertolak belakang. Aku tidak bisa memungkiri bahwa keadaan keluargaku memberikan privilege sehingga aku bisa memilih jalan hidup yang aku mau. Sementara Bayu berasal dari keluarga sederhana dan kerja keras serta kecemerlangan otaknya membuatnya mendapatkan beasiswa hingga S2 dan sekarang bekerja di salah satu Kementerian.

Bayu pernah berkata bahwa dia salut kepadaku karena berani mengambil jalur berbeda dengan bisnis yang dijalani keluargaku. Dia bangga karena aku berani mencoba berdiri di kakiku sendiri.

Namun sekarang dia malah mengasihani dirinya yang tidak punya banyak pilihan karena tidak memiliki privilege seperti yang kupunya. Dia menyindirku karena menurutnya pekerjaanku hanya main-main, sekadar cara mengisi waktu luang karena jika aku gagal atau sudah bosan, aku bisa merengek ke papa untuk memberiku uang.

Untuk pertama kalinya, aku menampar Bayu.

Melihatnya pergi dari rumah membuatku merasa aku tidak lagi mengenalnya.

Seminggu kemudian, Bayu meminta maaf. Dia menyesal karena berpikiran pendek sehingga mengeluarkan kata-kata yang tidak sepantasnya.

Sejak saat itu, aku merasa ada sesuatu yang sudah rusak dalam hubungan ini. Namun di mata Bayu, semua baik-baik saja karena dia sudah minta maaf.

Bayu bersikap seolah tak ada apa-apa. Aku mencoba hal yang sama. Namun, hatiku tidak bisa menolak bahwa ada yang salah. Jika dulu aku bisa mengobrol apa saja dengan Bayu, sekarang aku malah sering kehabisan bahan obrolan. Aku mencoba mengerti kesibukan Bayu, tapi Bayu seolah enggan membahasnya. Aku mencoba memberitahunya pekerjaanku dan hari-hariku, tapi Bayu mendengarkan dengan pasif.

Aku merasa hubungan ini hambar.

Sekali lagi, Bayu menganggap tidak ada yang salah ketika aku menyinggung hal ini. Dia merasa aku terlalu oversensitive.

Akhirnya, aku meminta untuk putus. Bayu malah menertawakanku dan menganggapku mengada-ada. Sekali lagi, Bayu menekankan bahwa tidak ada yang salah dengan hubungan ini meski aku membeberkan semua masalah yang ada. Lisan dan tulisan, agar dia mau membuka mata.

Bayu meminta kesempatan lagi. Dia berjanji akan berubah.

Aku pun setuju.

Namunkenyataannya, hatiku malah terasa kian hambar dari hari ke hari. Dan nyatanyajuga, Bayu masih sama.

[COMPLETE] Playing with FireWhere stories live. Discover now