Ch.14 Hurt

74.9K 6.7K 251
                                    

PS: Sedikit cerita kenapa bagian ini lama di-upload. Waktu membuat plot, bagian ini sempat jadi pertentangan. Gue menulis dua versi cerita, pertama bagian yang seperti ini dan kedua bagian yang biasa saja. Awalnya cuma pengin bikin cerita ringan, tapi waktu plotting kayaknya harus masukin satu isu penting, sama seperti di cerita lainnya. Jadilah, gue akhirnya memutuskan untuk jalan dengan plot awal, meski sebenernya enggak tega waktu nulis part ini. KDP is no joke, so let's discuss about it.



"Kha, bahan buat meeting nanti udah aman, kan?"

Aku memutar kursi untuk menghadap Lisa dan menjawab pertanyaannya dengan mengacungkan kedua ibu jari. "Tinggal minta tanda tangan Donny aja."

"Kirain kemarin udah ditandatangani."

"Masih ada yang harus gue benerin, makanya berencana mau minta hari, sebelum kita berangkat."

"Masalahnya..." Lisa mengalihkan pandangannya ke ruangan Donny sebelum kembali menatapku. "Donny izin buat WFH."

What? "Jadi, dia enggak ada?"

Lisa menggeleng pias.

Sama sepertinya, aku juga melongo menyadari kebodohanku. Aku menatap file yang siap kupresentasikan, lalu mengalihkan tatapan ke jam di mejaku. Masih ada waktu untuk mengejar tanda tangan ini sebelum menemui klien sore ini.

"Kita ketemu di lokasi aja, ya. Gue samperin Donny ke rumahnya," usulku, seraya membereskan barang-barangku.

"Lo bakal muter-muter ke Menteng dulu terus balik lagi ke Senopati."

Memang, sih, tapi apa boleh buat?

Setelah meyakinkan Lisa, aku segera berlari keluar dari ruangan untuk memburu waktu.

Ketika di perjalanan menuju rumah Donny, aku diliputi kegelisahan. Masih terbayang ekspresi marah Donny ketika aku meninggalkannya semalam dan memilih pulang bersama Bayu. Meski samar, aku bisa melihat raut kecewa di wajahnya.

Rasanya, aku seperti orang jahat yang tengah mempermainkan Donny.

Aku menghela napas panjang sebelum mengetuk pintu rumahnya. Tidak butuh waktu lama sampai Donny membukakan pintu untukku. Aku memasang wajah normal dan tersenyum lebar, meski perasaanku sangat tidak karuan.

"Mikha?"

Aku mengacungkan file yang kubawa. "Gue butuh tanda tangan lo buat meeting sore ini. Kemarin lupa minta dan gue enggak tahu hari ini lo WFH." Aku berkata cepat.

Donny menyunggingkan senyum sekilas dan membuka pintu lebar-lebar, mempersilakanku masuk.

"Nyokap lo baik-baik aja?"

Donny mengangguk. "Tadi harus nemenin terapi, makanya gue izin WFH." Dia mendudukkan tubuhnya di sofa, dan aku pun mengikutinya. Donny mengulurkan tangan, meminta file yang harus ditandatanganinya.

Tanpa banyak bicara, Donny membaca isi file itu sekilas sebelum menandatanganinya dan mengembalikannya kepadaku.

Aku menerima file itu dengan canggung.

Setelah ini, apa? Aku sudah menyelesaikan urusanku di sini dan seharusnya aku pergi, tapi aku malah mematung di sini. Sedikit pun tidak berniat untuk angkat kaki dari rumah Donny.

"Ada lagi?"

Aku menggeleng seperti orang bodoh.

Setelah satu tarikan napas, aku bangkit berdiri. Namun, aku kembali mematung. Aku menatap Donny, merasakan banyak hal bermain di benakku untuk kusampaikan kepadanya. Namun, aku malah merasakan lidahku kelu.

[COMPLETE] Playing with FireUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum