Ch.39 Blessing

50.2K 5.5K 96
                                    

Ini bukan kali pertama aku ke rumah Mikha. Namun, kali ini berbeda. Jantungku tak henti berdetak ketika mengetuk pintu. Rasanya sangat lama sampai pintu itu terbuka dan aku tidak tahu siapa yang menungguku di balik pintu itu.

Aku berusaha mengatur napas, mengembuskan napas perlahan-lahan sekaligus meredakan debaran di dadaku.

Ketika mendengar bunyi kunci pintu dibuka, aku kembali panik. Namun, tidak ada waktu untuk chicken out dan menyingkir pergi. Lagipula, aku tidak ingin mendapat cap looser ditempel besar-besar di jidatku.

Wajah Mama menyembul di balik pintu. Senyumannya membuat jantungku serasa melompat keluar dari rongga dadaku.

"Eh, Donny. Mama kira siapa." Mama membuka pintu lebar-lebar. "Kirain kamu pergi sama Mikha."

Aku mengusahakan diri untuk tertawa, tapi yang terdengar hanya seringai kecil yang sangat awkward.

Mendapati weekend tanpa Mikha merupakan suatu hal langka. Namun, kali ini Mikha memaksa agar aku tidak menemaninya. Saat ini dia sedang bersama Lisa, alasannya karena dia kangen Lena. Padahal sebenarnya dia ingin curhat kepada Lisa.

Mikha sudah memutuskan untuk resign. Dia bahkan langsung mengajukan surat resign keesokan hari setelah dia curhat panjang lebar di rumahku. Mbak Rina tidak terima dan dia kembali menuding Mikha. Namun, Mikha sudah menulikan telinga dan tidak peduli akan apa pun yang diucapkan Mbak Rina.

Dia bahkan menulis besar-besar 'One Last Month in Hell' di kalender meja kerjanya, sebagai tanda menghitung mundur hari-harinya di kantor itu. Ketika melihatnya, Mbak Rina meledak tapi Mikha hanya masa bodo.

Karena itulah, aku ada di sini. Di rumahnya, mumpung Mikha sedang tidak ada. Lagipula, bukan Mikha yang ingin aku temui, melainkan orangtuanya.

Mama mempersilakanku masuk meski ekspresi di wajahnya masih penuh tanda tanya.

"Mikha lagi enggak ada," ujarnya.

Aku mengangguk. "Tadi Mikha udah bilang dia mau ketemu Lisa," sahutku.

Mama hanya menggumam kecil sambil menutup pintu di belakangku.

"Papa ada, Ma?"

"Ada. Kamu mau ketemu Papa?"

Aku mengangguk. "Kalau boleh, saya mau ngomong sesuatu sama Mama dan Papa."

Mama menatapku dengan dahi berkerut. Ekspresi penuh kecurigaan di wajahnya sama persis seperti Mikha. Namun, detik ini Mama terlihat lebih intimidatif. Beliau tidak langsung menjawab, hanya menatapku dengan tatapan menyipit tajam.

Aku meneguk ludah, berusaha menenangkan diri. Keringat dingin mengucur dan membasahi tubuhku, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa selain bergeming di bawah tatapan Mama. Rasanya seperti seorang pesakitan yang tengah diinterogasi.

"Kamu duduk dulu. Mama panggil Papa, ya."

Sepeninggal Mama, aku mengempaskan tubuh ke sofa di ruang tamu sambil mengembuskan napas lega. Aura tegang yang sejak tadi kurasakan perlahan menghilang, tapi tetap saja membuatku deg-degan setengah mati.

Kalau ada orang lain di sini, mereka pasti bisa mendengar degup jantungku yang super keras seperti ini.

Pagi ini, aku memutuskan untuk mengambil langkah besar ini. Ucapan terakhir Mikha seperti kode bahwa dia akan menungguku. Namun, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

I love her. I really really love her.

Pagi ini, ketika terbangun, aku membayangkan kehidupan seperti apa yang kuinginkan. Seberat apa pun jalan yang akan kutempuh nanti, aku yakin akan sanggup menghadapinya selama ada Mikha yang menemaniku.

[COMPLETE] Playing with FireWhere stories live. Discover now