28. Wishes

59.6K 5.7K 74
                                    

Aku menutup mata dengan lengan, berusaha mengusir sinar menyilaukan yang menusuk pandanganku.

"Bangun, Mas Donny."

Suara Mikha terdengar jelas, tapi aku masih enggan untuk bangun. Aku malah menarik selimut dan bergelung di dalamnya. Namun, sebuah tarikan keras membuat selimut itu terlepas dari tanganku.

Aku berbaring, merasakan dingin AC menusuk langsung ke kulitku.

Perlahan, aku menurunkan lengan yang sejak tadi kugunakan untuk menutup mata. Rupanya sinar itu berasal dari cahaya matahari yang masuk lewat jendela besar di kamar Mikha.

"Sudah siang. Ayo bangun, aku lapar."

Mikha berdiri sambil berkacak pinggang di samping tempat tidurnya. Dia mengikat rambutnya asal-asalan. Berantakan tapi justru membuatnya terlihat seksi. Apalagi dia memakai kemeja putih yang kemarin kupakai. Berani taruhan, dia tidak memakai apa-apa di balik kemeja itu.

Aku menyunggingkan senyum. "Masih pagi, kenapa udah ngomel-ngomel?"

"Kamu sulit banget dibangunin." Dia duduk di pinggir tempat tidur dan menarik tanganku. "Aku lapar. Ayo cari sarapan."

Alih-alih mengikuti ajakannya, aku malah bergeming. Membuatnya kian kesulitan memaksaku untuk bangun.

Sebagai gantinya, justru akulah yang menarik Mikha hingga terbaring tepat di atasku. Aku melingkarkan tangan memeluknya, memerangkapnya agar tidak bisa pergi.

"Morning, Mikha Mouse," godaku sambil mengecup bibirnya.

"Jangan macam-macam," ancamnya. Tentu saja, apa yang keluar dari bibirnya berbanding terbalik dengan sinyal yang dipancarkan tubuhnya.

"Siapa yang mau macam-macam," timpalku dan kembali mengecupnya.

Mikha bergeming, berusaha untuk tidak terpengaruh. Sikapnya membuatku semakin tertantang, sehingga menciumnya lebih dalam lagi.

"Aku lapar," bisik Mikha, ketika aku melepaskan ciumanku. Suaranya kian serak dan tidak lagi terdengar setegas tadi.

"Mau makan apa?" tanyaku, kali ini mengarahkan ciuman ke lehernya.

Tubuh Mikha yang berada di pelukanku terasa menegang. Percuma dia menolak, karena tubuhnya justru memberikan reaksi yang sebaliknya.

Dalam sekali sentakan, aku memutar tubuh hingga kini dia berada di bawahku. Perlahan, aku membuka kancing kemeja itu satu per satu. Dugaanku benar, dia tidak memakai apa-apa.

Bekas ciumanku masih terlihat jelas di kulitnya yang putih itu. Aku memang belum sempat bercukur, sehingga facial hair di wajahku membuatnya geli dan meninggalkan bekas berupa ruam merah. Aku tersenyum pongah, menyadari bahwa saat ini, hanya aku satu-satunya orang yang bisa menyentuhnya sejauh ini.

Aku menenggelamkan wajahku di dadanya, menghirup aroma tubuhnya yang pagi ini sangat memabukkan. Aku mengecup dadanya, merasakan tubuhnya bergetar di bawahku ketika lidahku menjelajahi payudaranya.

"Masih lapar?" tanyaku.

"Masih," sahutnya.

"Mau sarapan sekarang?" tantangku.

"Tentu saja." Mikha menjawab pendek, dengan suara bergetar meningkahi permainan lidahku di payudaranya.

"Oke." Aku mengangkat tubuh, bertumpu pada kedua lengan hingga bisa menatapnya lekat-lekat.

Sementara itu di bawahku, Mikha tersenyum simpul. "Tapi sepertinya aku bisa nahan lapar lebih lama lagi," ujarnya pelan sambil tertawa kecil.

Aku tergelak. Kembali aku menurunkan wajah, kali ini menyerbu bibirnya yang merekah itu.

[COMPLETE] Playing with FireWhere stories live. Discover now