Ch.38 I'll Wait

48.6K 5.2K 45
                                    

Mikha memencet remote keras-keras. Semenjak kedatangannya satu jam yang lalu, wajahnya masih ditekuk. Sesekali dia menggerutu, meski aku tidak bisa menangkap gerutuannya.

Tadinya aku akan menjemputnya ke kantor, tapi Mikha mengejutkanku dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Dari awal, dia sudah cemberut dan aku tidak ingin mencari masalah dengan mengonfrontasinya. Sehingga, aku mendiamkannya sambil menyelesaikan pekerjaanku. Setidaknya, setelah dibiarkan sendiri, emosinya mulai mereda dan Mikha mau diajak bicara baik-baik.

Namun, sepertinya aku salah.

"Kenapa, sih? Wajahnya ditekuk terus?"

Alih-alih menjawab, Mikha hanya menggerutu. Dia masih memencet remote, tapi aku tidak yakin dia memerhatikan saluran televisi di hadapannya. Pikirannya pasti tidak ada di rumahku sekarang.

Aku merebut remote itu dan menjauhkannya. Mikha menatapku dengan tatapan nyalang sebagai bentuk protes.

"Kalau lagi kesal, kamu bisa cerita." Aku mengusap kepalanya. "Kamu kenapa?"

Masih dengan wajah ditekuk, Mikha bersandar di sofa sambil bersedekap. Wajahnya yang sedang cemberut itu sebenarnya menggemaskan, tapi aku tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk mengisenginya.

Aku ikut bersandar di sebelahnya. "Cerita sama aku, ya."

Mikha menghela napas panjang. "Bete sama Mbak Rina," sahutnya pendek.

Aku sempat menduga mood jelek ini pasti disebabkan oleh pekerjaannya. Sudah lama Mikha tidak mengeluh, sehingga aku menduga dia sudah beradaptasi dengan baik. Namun dugaanku salah. Dia hanya memendamnya seorang diri dan sekarang dia sudah sampai di titik batas. Mikha tidak bisa menyimpannya seorang diri lagi.

"Mbak Rina kenapa?"

"Seumur hidup, baru kali ini aku dikatain bodoh. Di depan orang banyak lagi. Harga diriku mau ditaroh di mana?" serbu Mikha. Napasnya memburu, tampak dia berusaha keras menahan emosinya.

"Kejadiannya gimana?"

Sekali lagi Mikha menghela napas panjang. "Kamu kenal Bu Maria, kan? Dulu, tuh, dia sukses bikin Lisa sakit kepala. Nah, si Ibu rese satu ini punya proyek baru dan aku yang nanganin. Kirain udah berubah, tapi tetap aja bikin emosi. Dia enggak punya brief yang jelas, ngomongnya ngambang enggak tahu juntrungannya dan aku jadi menebak-nebak dia maunya apa. Intinya, dia masih aja sama enggak jelasnya kayak dulu." Mikha berkata cepat.

Aku mengangguk tanda mengerti. Dulu, aku mengambil alih proyek itu dari Lisa ketika Lisa sudah menyerah karena tidak bisa mengerti apa yang diinginkan Bu Maria. Tentu saja, aku seperti menggali kuburanku sendiri karena dia sangat merepotkan. Kalau saja dia bukan besannya si bos besar, aku sudah mendepak proyek itu jauh-jauh.

Jadi, sedikit banyak aku paham mengapa Mikha jadi kesal seperti ini.

"Dikiranya aku cenayang bisa ngerti omongannya yang enggak jelas itu?" Mikha ngedumel. "Maksudku itu seperti ini lho. Bukan begitu. Kamu ngerti enggak, sih? Gini lho, bukan gitu. Cih, mana ada yang ngerti omongan kayak begitu?"

Aku tertawa ringan. "Yeah, I know that."

"Masalahnya, dulu Lisa punya kamu. Sekarang aku enggak punya siapa-siapa. Mbak Rina sama sekali enggak bisa diandelin." Mikha mendengus. "Aku yakin dia juga enggak paham Bu Maria maksudnya apa, tapi enggak mau ngaku. Malah dia menuduhku enggak becus, begitu aja enggak ngerti."

Di kasusku dulu, Mbak Rina memilih untuk angkat tangan. Dia paham betapa menyulitkannya Bu Maria sehingga tidak ingin ikut campur dan menjerumuskanku dalam lubang neraka itu seorang diri. Sekarang, aku yakin dia berpendapat sama. Dia menjerumuskan Mikha sendirian dan memilih kabur menyelamatkan dirinya sendiri.

[COMPLETE] Playing with FireWhere stories live. Discover now