Ch.18 Try Again

74.5K 6.7K 35
                                    

Aku menghela napas panjang berkali-kali, lalu mengembuskannya perlahan. Sejenak, aku mempraktikkan yoga yang dulu pernah kujalani bersama Lisa, lalu terhenti sejak berbulan-bulan lalu karena dilanda malas.

Nyatanya, meski aku bernapas dengan benar, debaran di jantungku tidak berkurang sedikit pun.

Apa, sih, yang lo lakuin di sini?

Lima hari semenjak ibu Donny meninggal, dia masih mengambil cuti. Kepada Lisa, Donny berpesan bahwa dia masih harus mengurus banyak hal sepeninggal ibunya. Dia tidak memberitahu sampai kapan dia butuh waktu.

Dari Lisa juga, aku tahu bahwa Donny baik-baik saja. Namun, aku tidak bisa percaya begitu saja jika tidak melihatnya langsung. Jadi, itulah yang aku lakukan sekarang. Alih-alih pulang ke rumah, aku malah mengendarai mobil ke rumah Donny.

Sejak sepuluh menit yang lalu, aku tidak berani keluar dari mobil. Sudah sejauh ini, tiba-tiba saja aku jadi pengecut.

Inhale ... exhale ... inhale ... ex ... crap!!!

Sebelum aku benar-benar berubah jadi pengecut, aku memberanikan diri keluar dari mobil. Aku hanya akan menemui Donny sebentar saja, lalu pergi. Tidak butuh waktu lama, sepuluh menit kurasa cukup. Yang penting aku sudah membuktikan dengan mata kepalaku sendiri bahwa dia baik-baik saja.

Aku melintasi halaman dan teras yang tampak lengang. Dalam hati aku berharap Donny tidak ada di rumah, jadi aku tidak perlu menanggung rasa awkward ini.

Aku mengetuk pintu berkali-kali, mencuri dengar dari balik pintu apakah ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana. Namun, suasana begitu hening. Setelah ketukan-ketukanku tidak terjawab, aku memutuskan untuk pulang saja. Mungkin Donny sedang pergi.

Langkahku terhenti ketika mendengar bunyi kunci dibuka dan sosok Donny muncul dari balik pintu. Wajahnya tampak kusut, terlebih dengan facial hair yang memenuhi wajahnya, membuatnya tampak tidak terawat. Kantung mata membayangi wajahnya, membuatnya terlihat sangat lelah.

Akumulasi sedih dan lelah membuatnya tampak begitu rapuh.

"Don," panggilku.

Donny tersenyum, memberikan sedikit rona di wajahnya. Dia membukakan pintu lebar-lebar, mengundangku masuk.

"Gue ke sini cuma pengin tahu kabar lo aja," ujarku sambil melangkah masuk ke rumahnya.

Suasana di dalam rumah itu sangat sepi, berbanding terbalik dengan saat terakhir kali aku ke sini. Aku memandang berkeliling, mencari sosok Diana atau keluarga Donny yang lain.

"Lo sendiri?" tanyaku, sambil menatap Donny yang menutup pintu. "Diana udah balik ke Depok?"

Donny mengangguk. "Dia ada UTS minggu depan, jadi terpaksa harus balik ke Depok. Keluarga gue juga udah pada pulang." Donny menghampiriku. "Duduk, Kha. Lo mau minum apa?"

Aku menggeleng dan menuju sofa. Aku pernah mencium Donny di sana. Dia meninggalkanku saat itu, menyinggung bahwa hatiku yang masih diisi sosok lain ketika aku bermesraan dengannya.

"Enggak usah. Gue enggak lama, cuma pengin nengokin lo aja."

Donny duduk di sofa di seberangku. Entah mengapa aku benci dengan keberadaan jarak ini, tapi di sisi lain aku senang karena setidaknya jarak ini bisa membuatku berpikir jernih.

"Thanks. Gue ... ya kayak yang lo lihat."

"Berantakan." Aku tergelak.

Donny ikut tertawa bersamaku. "Sekarang baru kerasa sepinya, karena kemarin-kemarin masih ada Diana dan keluarga gue. Kalau sendirian begini, gue selalu keingat nyokap."

[COMPLETE] Playing with FireWhere stories live. Discover now