Ch.29 Little Sister

54.3K 5.5K 114
                                    

Diana mengerang kesal ketika aku mengacak rambutnya. Dia memandangku dengan tatapan penuh kekesalan, membuat wajahnya tampak sangat keras.

Adikku ini pasti akan semakin cantik kalau saja dia mau lebih sering tersenyum dan membuang jauh-jauh wajah juteknya itu. Namun, Diana selalu berasalan kalau wajah juteknya itu sudah bawaan dari lahir. Mau tersenyum selebar apa pun, wajahnya tetap terlihat seperti orang sedang memendam amarah.

Namun, Diana sangat bangga dengan resting bitch face yang dimilikinya itu. Baginya, wajahnya yang dingin cukup ampuh untuk mengusir orang yang tak berkepentingan untuk mendekatinya.

Ada-ada saja.

Aku duduk di sebelahnya dan ikut mengintip ke layar laptopnya. Jurnal dengan huruf kecil-kecil dan rapat-rapat langsung membuatku pusing.

She's the brain in the family. Diana menuruni Mama, termasuk kecintaannya terhadap bidang akademis. Diana bahkan bercita-cita ingin menjadi dosen, seperti mama. Untuk mewujudkannya, dia sering membantu proyek dosen, dan semester ini dia dipercaya menjadi asisten dosen. Itu caranya agar dosen incerannya mau memberinya rekomendasi saat apply beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya nanti.

"Gimana skripsimu?" tanyaku.

"Disuruh revisi bagian teorinya. Kurang kuat," sahutnya sambil menggigit cokelat. Matanya tidak lepas dari layar laptop.

"Judulnya diterima?"

Diana hanya mengangguk sekilas. Wajahnya tampak serius, sampai-sampai kerutan di keningnya tampak sangat dalam.

Sejak kecil, Diana memang sudah suka belajar. Kalau ada orang yang girang ketika harus ujian, itu Diana. Berbeda denganku yang lebih suka main futsal ketimbang baca buku.

Sebelum jatuh stroke, Mama bekerja sebagai dosen statistik di UI. Di kampus itu juga beliau bertemu dengan Papa. Bedanya, Papa memilih menjadi seorang profesional, tidak seperti Mama yang mengabdikan diri di bidang akademis. Waktu kecil dulu, aku sering ikut Papa ke lokasi proyek, dan tanpa disadari aku ingin mengikuti jejak Papa. Namun, mimpi itu aku kubur jauh-jauh ketika Papa mengalami kecelakaan kerja. Aku tidak ingin masuk Teknik Sipil seperti Papa, karena setelah Papa tidak ada, akulah satu-satunya laki-laki di keluarga. Walaupun saat Papa meninggal aku masih 13 tahun, tapi aku sudah mengerti tanggung jawabku.

Namun, keinginan masuk UI masih tersimpan. Apalagi, di sana Papa dan Mama punya banyak kenangan. Sayangnya, aku tidak sepintar Diana. Aku gagal masuk Teknik Sipil, seperti Papa dan malah diterima di FSRD ITB.

Beruntung Diana memiliki otak cemerlang sehingga setidaknya, ada satu orang di antara kami yang menuruni jejak Mama. Diana boleh memiliki sikap dingin dan wajah jutek, tapi dia memiliki kepedulian yang tinggi. Rasa ingin tahunya tak pernah ada habisnya. Itulah yang membuatnya mengambil jurusan Sosiologi dan terlibat di banyak proyek yang dikerjakan kampusnya.

"Mas, minggu depan aku ke Banyuwangi, ya. Ada proyek dosenku, kerjasama sama Kemenparekraf," ujar Diana.

"Skripsimu gimana?"

"Enggak bakal keganggu. Aku harus submit bab baru Rabu depan, dan setelahnya kosong. Lagian, di Banyuwangi cuma seminggu, kok." Diana menjelaskan. "Ini proyeknya Mas Sapto. Aku butuh image bagus dari dia, biar nanti dia ngasih referensi buat beasiswaku."

"Di, kalau kamu mau lanjut kuliah S2, Mas bisa bayarin. Jadi, kalau memang enggak dapat beasiswa ya enggak apa-apa."

Ucapanku sukses membuat Diana mengangkat wajahnya dari layar laptop. Dia menyingkirkan laptop itu dan duduk tegak. Melihatnya membuatku seperti melihat perempuan dewasa, bukan adikku yang sering merengek.

[COMPLETE] Playing with FireWhere stories live. Discover now