Ch. 7 Cold Shoulder

80K 7K 104
                                    

"Nanti aku mungkin bakal sering bolak balik ke Bali karena proyek ini."

Di depanku, Bayu hanya mengangguk.

"Mungkin kamu bisa ikut. Udah lama juga kita enggak liburan bareng." Aku mencoba mengajaknya, sebagai usaha memperbaiki hubungan ini. Namun sepertinya hanya aku yang berusaha. Bayu yang berjanji akan berubah malah tidak menunjukkan usaha apa-apa.

Dia yang meminta kesempatan kedua ini, tapi malah dirinya yang seolah tidak menginginkan hal ini.

Aku jadi menyesal sudah mengajaknya.

"Kalau kamu enggak mau juga enggak apa-apa," ujarku akhirnya.

"Bukannya enggak mau, tapi aku khawatir enggak bisa." Bayu beralasan. Alasan yang terdengar sangat amat basi.

Selama berhari-hari, aku terpikirkan ucapan Lisa. Mungkin aku bisa membangkitkan kembali gairah di dalam hubunganku dengan Bayu. Karena itu, malam ini aku membiarkan Bayu menginap setelah beberapa kali menolak ajakannya dengan berbagai alasan.

Namun, sepertinya keputusanku salah. Sepertinya aku hanya berusaha sendiri sementara Bayu? Ah, entahlah. Aku tidak mengerti dia sedang berada di mana sekarang.

Aku mencoba mengembalikan rutinitas yang dulu, dengan melibatkan Bayu ke dalam kehidupanku. Aku bercerita soal proyek hotel di Bali yang tengah kami garap, berharap Bayu bisa merasakan antusiasme yang sama denganku. Aku merindukan momen ketika dulu dia menyambut setiap ceritaku dengan semangat yang sama, terus menyemangatiku ketika aku merasa buntu dan tidak bisa memberikan desain terbaikku.

Malam ini? Boro-boro. Bayu hanya mengangguk kecil dan menimpali dengan basa basi ala kadarnya. Dia bahkan lebih sering menguap ketimbang menimpali ceritaku.

Sebagai gantinya, aku memintanya bercerita. Beruntung aku masih ingat beberapa nama teman kantornya sehingga bisa memancing dengan nama itu.

Tapi Bayu bersikap datar. "Mereka baik-baik saja. Masih menyebalkan seperti biasa. Kerjaannya hanya mengeluh dan melemparkan pekerjaan kepadaku, lalu take credit atas nama mereka."

Dia bahkan mengeluhkan kelakuan atasannya yang selalu membuatnya muak.

Sebagai staf ahli, Bayu tidak terikat kewajiban seperti pegawai negeri sipil pada umumnya. Dia bisa berhenti kapan saja dan mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan hatinya.

"Umurku sudah berapa, Mikha? Enggak mudah nyari kerjaan baru. Jadi, mending yang kayak sekarang, udah settle. Aku aman."

"Tapi kamu kayak tertekan gitu. Lebih sering ngeluh daripada bahagia." Aku mencoba memasukkan beberapa kebenaran ke otaknya.

Bayu tersenyum simpul. "Dalam hidup kadang emang harus ngerasain pahit. Kamu tuh beruntung enggak pernah struggling kayak aku."

Aku meremas bantal yang kupangku karerna kesal. Lagi-lagi Bayu menyindirku dan membandingkan diriku dengannya.

"Aku memang punya privilege dan aku beruntung, tapi bukan berarti aku ongkang-ongkang kaki. Kamu enggak pernah tahu struggling aku kayak apa." Aku meluapkan kekesalanku. "Kamu punya pilihan, tapi kamu terlalu takut buat mengambil pilihan itu."

Bayu bangkit dari tempat duduknya dan menghampiriku. Dia mendudukkan tubuhnya di sisi tempat tidur yang kosong. Dia membelai rambutku pelan. Sejenak aku merasakan dia sudah kembali seperti Bayu yang seharusnya, tapi ketika melihat matanya, aku hanya mendapati tatapan kosong.

"Tidak semudah itu. Kamu enggak ngerti posisiku."

"Kamu yang membuatnya jadi rumit."

"Udah, ya. Enggak usah dibahas. Terlalu berat ngobrolin ini malam-malam."

"Kenapa? Kamu menganggap aku terlalu bodoh atau anak kecil yang enggak tahu apa-apa buat ngobrolin hal serius?" tantangku.

"Karena memang enggak ada yang perlu dibawa serius."

"Jadi, hubungan kita enggak serius?"

Bayu mengusap wajahnya, kebiasaannya saat sudah kehabisan bahan omongan dan menyerah. "Aku capek, Mikha. Di kantor dicecar atasan, di sini aku juga dicecar sama kamu."

Aku tidak menghiraukan Bayu dan mengambil novel yang ada di nakas di samping tempat tidur. "Aku udah mau tidur. Kamu kalau capek dan merasa dicecar, kenapa enggak pulang aja?"

Dulu, aku tidak pernah mengusir Bayu. Aku bahkan dengan senang hati jika dia menginap di tempatku. Namun sekarang, aku ingin dia pergi.

"Aku tidur di sini, ya."

Aku memandang Bayu dengan malas. Tidak seperti tadi, sekarang dia malah terlihat bersemangat. Namun, aku tahu arti di balik sikapnya itu.

Bayu mengambil novel di tanganku dan melemparnya ke lantai. Dia mendekapku dan mulai menciumiku.

Seharusnya aku menolak Bayu.

Namun, lagi-lagi aku masih dilanda ragu. Meski tipis, masih ada sedikit harapan bahwa hubungan ini mungkin masih bisa diperbaiki.

Lagi-lagi, ucapan Lisa terlintas di benakku. Karena itulah, aku membiarkan Bayu menyentuhku.

Aku menutup mata, berusaha mengais kembali sisa rasa yang kumiliki kepada Bayu. Namun, meski aku sudah berusaha keras mencarinya, rasa itu tidak pernah muncul.

Aku berusaha untuk santai. Jika hatiku tidak bisa memunculkan kembali rasa itu, mungkin tubuhku bisa mengingatnya. Aku membiarkan Bayu membuka pakaianku dan menyentuhku, sambil berharap semoga saja masih ada sisa dirinya di tubuhku.

Namun, hasilnya sama saja. Aku tidak merasakan apa-apa selain rasa dingin dan hambar. Aku tidak merasakan adanya gairah ketika Bayu menyentuh bagian sensitif di tubuhku. Tubuhku terasa kebas, sekalipun Bayu berusaha menstimulasiku agar siap menerima kehadian dirinya.

Aneh. Seperti ada penolakan dari tubuhku.

"Mikha..." Bayu menggumamkan namaku ketika dia bersiap memasuki tubuhku.

Aku menjerit ketika Bayu melakukan penetrasi. Ada rasa sakit di bagian bawah tubuhku, rasa sakit yang hampir sama seperti ketika aku pertama kali berhubungan badan dengan Bayu. Aku menahan rasa sakit itu, sementara Bayu tidak menyadarinya. Dia berada di atasku, terus memacuku, sekalipun aku merasa sakit.

Namun, aku tidak menyuarakannya.

Hingga lenguhan terakhir meluncur dari bibir Bayu dan dia tergeletak lemah di sampingku setelah dilanda kepuasan, aku tidak merasakan apa-apa selain sakit.

Beberapa detik kemudian, aku mendengar dengkuran halus di sampingku.

Aku bangkit berdiri dan menyeret tubuhku menuju kamar mandi. Di bawah shower, aku membasahi tubuhku dan membiarkan air mataku ikut luruh bersama air. Aku membenci diriku sendiri yang tidak bisa tegas di saat seperti ini.

Malam ini, aku sadar bahwa tak ada lagi rasa untuk Bayu. Tak ada lagi cinta untuknya. Sebuah pengakuan yang membuatku sedikit lega, dan berhenti mencari sisa-sisa rasa untuk Bayu. Karena, rasa itu sudah tidak lagi ada.

Namun, perasaan bersalah juga melandaku karena membiarkan diriku larut bersama Donny.

From this moment, I don't know what to do.

[COMPLETE] Playing with FireDonde viven las historias. Descúbrelo ahora