Ch.21 Starting All Over Again

81.6K 7.1K 195
                                    

"Udah mau pulang?"

Aku mengangkat wajah dan untuk sementara menghentikan kesibukanku membereskan meja. Aku mendapati Donny bersandar di meja Lisa, dengan secangkir kopi hangat berada di tangannya.

Mendapati Donny menjaga jarak seperti ini tidak lagi membuatku sakit hati. Aku malah menghargainya. Dia memberiku waktu dan ruang untuk membenahi semua keruwetan di hidupku. Dia tidak memaksa, tapi setiap hari dia selalu memastikan dirinya ada di dekatku.

Entah itu ucapan selamat pagi, ajakan untuk makan siang, atau sekadar berpamitan ketika dia hendak pergi meeting. Aku menghargai usahanya yang memberikanku ruang agar aku bisa berdamai dengan diriku sendiri.

Sepulangnya dari rumah Donny dua minggu lalu, aku menemui seorang psikolog keesokan harinya. Lisa benar, aku tidak bisa mengatasinya sendiri. Menemui psikolog awalnya tampak seperti momok menakutkan. Aku tidak yakin bisa membuka diri sepenuhnya di hadapan orang asing. Namun, dokter Meri sangat sabar. Pertemuan pertama tidak menghasilkan apa-apa. Tapi, aku menunjukkan progres yang cukup signifikan.

Setidaknya, aku tidak perlu ketakutan lagi setiap kali berdekatan dengan lawan jenis.

Aku mengangguk mendengar jawaban Donny. "Lo lembur?"

Donny menggeleng. "Udah mau balik juga. Lo udah makan?"

"Belum."

"Gue mau ngajak lo makan, kalau lo bersedia."

Tanganku yang hendak mematikan laptop mendadak berhenti di udara. Aku teringat perkataan dokter Meri, untuk perlahan mulai membuka diri lagi.

Mungkin ini yang dimaksud oleh dokter Meri.

"Boleh," sahutku, akhirnya.

Aku tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti jika tidak mencobanya. Setidaknya, aku berani mencoba lagi. Bagiku, itu sebuah pencapaian yang patut kuapresiasi.

"Mau sate domba?"

Aku tergelak mendengar ajakannya. "Makan malam lo berat banget, ya."

Donny terkekeh. "Lo kan tahu gue kalau makan banyak."

"Boleh, deh. Udah lama enggak makan sate domba."

"Oke. Bentar, ya."

Aku berdiam diri di dekat meja, menunggu Donny yang mengembalikan cangkir kopi ke pantri. Aku mengikuti pergerakan Donny dengan mata, sejak dia meninggalkan mejaku dan menuju pantry, lalu menuju ruangannya dan mengambil ranselnya. Dia melemparkan senyum kepadaku ketika berjalan menuju ke tempatku.

"Yuk," ajaknya.

Donny mempersilakanku berjalan mendahuluinya, sementara dia mengekor di belakangku. He's such a gentleman. Dia mendahuluiku membuka pintu dan menahannya ketika aku keluar dari ruangan. Dia juga memencet tombol lift dan mempersilakanku memasuki lift duluan ketika pintu lift terbuka.

"By the way, gue boleh megang tangan lo?"

Pertanyaannya sontak membuatku menyemburkan tawa. Namun, Donny malah menatapku dengan wajah clueless. Dia tampak menggemaskan.

Aku bukannya menertawakan permintaannya. Namun, aku merasa kalau hubunganku dengan Donny bergerak terbalik dengan hubungan normal yang biasanya terjadi. He kissed me. He slept with me. Namun, sekarang dia meminta izin untuk memegang tanganku, hal yang seharusnya dilakukan pertama kalinya saat mendekati seseorang.

Sambil menahan tawa, aku meraih tangan Donny. Ketika Donny menggenggam tanganku, aku tidak lagi merasakan ketakutan yang selama beberapa hari terakhir menggangguku.

[COMPLETE] Playing with FireWhere stories live. Discover now