Ch.19 The Light

73.1K 6.7K 129
                                    

Hubunganku dengan Donny menjadi semakin dingin. Sepertinya dia menganggap tanggapanku malam itu sebagai penolakan, sehingga ketika dia kembali ke kantor, dia seperti menjaga jarak. Bahkan, hubunganku dengannya sekarang jauh lebih renggang ketimbang pertama kali aku bekerja dengannya.

Sudah seminggu berlalu semenjak malam itu, dan Donny sudah kembali ke kantor. Aku hanya bisa menyapanya di pagi hari pertama dia kembali bekerja, tapi saat itu Donny sudah bersikap dingin. Dia tidak hanya menjaga jarak, tapi juga membatasi interaksi denganku. Bahkan untuk urusan pekerjaan. Beberapa kali dia mendelegasikan pekerjaan kepada Lisa dan Lisa yang kemudian memberitahuku.

Bisa saja aku memutus jarak itu, tapi aku cukup tahu diri. Akulah penyebab Donny jadi dingin seperti ini. Aku tidak bisa berlagak tidak terjadi apa-apa atau bersikap seperti biasa selama aku tahu dirikulah yang telah menyakiti Donny.

I hurt myself too.

Aku merindukan saat-saat bercanda dengannya di pantry, atau saling lempar candaan ketika istirahat. Aku merindukan bertukar chat lucu bersamanya.

Jika bisa memutar waktu, aku ingin waktu dikembalikan saat seperti Bayu belum menyakitiku. Atau ketika kami menghabiskan waktu di Bali. Atau mungkin sebelum permainan putar botol sialan yang memulai semuanya.

Atau mungkin, aku tidak perlu bekerja di sini sehingga tidak mengenal Donny.

Sore ini, aku hanya bisa tersenyum dari jauh sementara Donny menatapku tajam. Tatapannya begitu menusuk, seakan dia ingin melukaiku dengan tatapannya itu.

Namun, melihat Donny yang kemudian tampak pias dan berlalu dariku dengan wajah terluka, itu lebih menyakiti hatiku.

Sampai kapan aku terus terjebak seperti ini?

"I think you need to see professional help." Lisa menyodorkan gelas kopi kepadaku. "Gue enggak tahan melihat lo seperti ini."

"Gue rasa..."

"Enggak," potongnya. "Lo enggak baik-baik saja. Semakin sering lo bilang 'gue baik-baik aja' itu artinya lo butuh pertolongan."

Lisa menatapku tajam, memastikan aku benar-benar memperhatikan ucapannya.

"Sebagai teman, yang bisa gue lakuin cuma sebatas ini. Lo harus lebih keras lagi membantu diri lo. Apa lo mau seumur hidup kayak gini, trauma enggak berkesudahan dan jadi perawan tua karena Bayu? Ya meski gue tahu lo udah enggak perawan, sih, sejak lama."

Aku tergelak mendengar ucapannya.

"Tapi, gue serius. Lo enggak mau cerita ke orangtua lo, fine. Gue ngerti mereka akan terpukul banget dan bisa aja gelap mata karena tahu apa yang udah lo alami. Setidaknya, lo bisa ke psikolog. Atasi trauma lo. Move on. Buka lembaran baru."

Melihat Lisa yang begitu berapi-api membuatku sadar kalau selama ini aku malah sengaja mengurung diri dalam penjara yang kubuat sendiri. Aku terlalu takut untuk keluar. Aku takut jika membuka lembaran baru, aku harus menerima kenyataan kalau tidak akan ada yang mau menerimaku.

Terutama Donny.

Aku takut, jika aku menerimanya dan terbuka di hadapannya, dia malah pergi meninggalkanku.

Jadi, keadaan seperti ini lebih baik walaupun terasa menyesakkan.

"Sa, menurut lo, jika gue membuka hati lagi, apa ada yang mau menerima gue?"

"Ada." Lisa menjawab tegas. "Hidup lo enggak hanya ditentuin oleh masa lalu yang lo punya."

"Kenapa lo begitu yakin?" Aku menatapnya tajam.

Lisa tersenyum dan menggenggam tanganku. "I know someone yang masa lalunya sangat buruk. Secara logika, enggak akan ada yang mencintainya. Namun, hatinya yang tulus membuat seorang perempuan jatuh cinta setengah mati kepadanya."

[COMPLETE] Playing with FireWhere stories live. Discover now