Ch.41 An Epilog

123K 6.1K 253
                                    

Mikha

I've been in love before. I thought that he's the one for me until he hurt me. At that time, I don't think that I can fall in love again.

Tidak pernah terbayangkan kalau aku akan berakhir di sini, dengan cincin yang dipasangkan oleh Donny di jariku.

Awalnya dia hanya atasanku yang super baik hati sehingga seringkali menimbulkan kesalahpahaman di hati para perempuan. Ketika Donny mulai menunjukkan perhatian berlebih kepadaku, aku pun menegaskan kepada diriku sendiri untuk tidak terbawa perhatian itu. Dia tidak serius, hanya aku yang kesenengan menerima perhatian itu.

Turns out, he's the love of my life.

Hidup melemparkanku ke titik terendah sampai aku merasa diriku tidak pantas untuk siapa pun. Namun, hidup pulalah yang menerbangkanku ke langit tertinggi ketika aku belajar untuk membuka hati dan Donny mengisi hatiku dengan semua cinta yang dia miliki.

Berkat dia, aku percaya kalau aku pun berhak atas kesempatan kedua.

Aku menatap cincin yang melingkari jariku. Walaupun aku berusaha menahan diri untuk tidak tersenyum, bibirku tidak henti-hentinya menyunggingkan senyum. Hatiku terasa sangat bahagia, sampai-sampai aku ingin memeluk semua orang yang ada di Hakkasan agar mereka tahu betapa bahagianya aku semalam.

Beberapa kali, Donny memang menyinggung soal masa depan. Bersamanya dan melihat ketulusannya saat menjagaku membuatku yakin akan satu hal, aku hanya ingin hidup bersama Donny. Tidak ada pria lain yang bisa mencintaiku seperti Donny, dan aku pun tidak yakin bisa mencintai pria lain sebesar cintaku untuknya.

Namun, aku tidak menduga kalau dia akan melangkah secepat ini.

Aku tidak menyangka ketika menginjak usia 25, aku mengizinkan seorang pria menyematkan cincin di jariku, bersamaan dengan ketetapan hatinya untuk meminangku.

Hanya ketulusan yang kutangkap ketika menatap matanya. Detik itu, detik ketika Donny menyebut namaku, aku tahu keputusanku.

Aku menerima lamarannya.

Tidak ada hal lain yang terasa jauh lebih tepat untuk kulakukan selain mengangguk di hadapannya dan menyatakan kesediaanku menjadi istrinya.

Aku menyentuh cincin itu, merasakan kehangatan yang diberikan oleh Donny ketika memelukku sepanjang malam. Dia tak henti-hentinya membisikkan namaku di sepanjang kami bercinta. Dia juga tidak henti-hentinya mengucapkan terima kasih atas kesediaanku menerima lamarannya, padahal aku yang seharusnya berterima kasih karena sudah mau menerimaku apa adanya, dengan semua pengalaman buruk yang pernah terjadi di hidupku.

Bersama Donny, aku merasa aman.

Aku tidak perlu khawatir akan disakiti karena aku yakin, Donny tidak akan menyakitiku.

"Masih pagi udah ngelamun."

Gumaman Donny mengagetkanku. Aku memalingkan wajah dari kaca jendela dan menatapnya. Donny menyibak selimut dan menepuk sisi kosong di sebelahnya—sisi yang kutempati semalam.

Aku bangkit berdiri dan menghampiri Donny. Inilah gambaran pagi sempurna yang akan kujalani nanti sampai di akhir sisa hidupku.

Aku baru saja merebahkan tubuhku di sampingnya ketika Donny menyerbuku. Dia memerangkapku dan menenggelamkan wajahnya di dadaku. Jemarinya dengan sigap membuka kancing kemeja miliknya yang kupakai saat terbangun tadi untuk melindungi tubuhku dan membukanya, sebelum bibirnya bergerak menelusuri setiap jengkal kulitku. Dia mencumbuku dalam-dalam, mengalirkan desir penuh bahagia di sekujur tubuhku.

Aku menangkup kepalanya ketika dia melumat payudaraku. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain melenguh penuh kepuasan ketika lidah Donny mempermainkan dadaku.

"Morning, love," ujarnya dan mengangkat wajah. Hanya sesaat karena setelahnya dia kembali melumat dadaku yang lain.

Aku hanya tertawa melihat tingkahnya. Jujur, aku tidak keberatan harus melewatkan sekian menit pagiku dengan bermesraan seperti ini.

"Mas, kita ada janji sarapan dengan orang tuaku," ujarku mengingatkan.

Donny mengangkat wajahnya. Dengan bertumpu di siku, dia menudungiku. Dia benar, selamanya aku akan berada di bawahnya, dan aku sama sekali tidak keberatan.

The truth is, this is nice.

"You'll be my favorite breakfast, lunch, and dinner for the rest of my life." Donny menyunggingkan senyum penuh kemenangan.

Aku hanya tergelak. Padahal semalam dia menolak ketika aku mengajaknya ke kamar yang sudah ku-booking di hotel ini. Jangan harap aku akan melepaskannya begitu saja, setelah dia memasangkan cincin ini di jariku. Namun, Donny berdalih dengan menjadikan orang tuaku sebagai tameng.

Papa dan Mama bersikap cuek. Mereka meninggalkan kami di Hakkasan dan menuju kamar yang di-booking untuk mereka, sehingga aku memiliki waktu lebih lama bersama Donny dengan status yang sudah berubah.

Wait, I no longer his girlfriend, right? I'm his fiancée now.

Aku mengulum senyum ketika kata tunangan itu berdentang lantang di benakku.

"Mikirin apa?"

Aku menggeleng. Namun, Donny tidak percaya begitu saja. Dia menyerang leherku dengan ciumannya, membuat tubuhku menggeliat menahan geli. Namun, dia tidak berhenti hingga akhirnya aku bersuara.

"I just think that ... sekarang aku tunangan kamu, kan? Bukan pacar lagi?"

Donny berhenti menyerangku, tapi dia menatapku dengan seringai lebar di wajahnya. "Calon istri," ujarnya tegas.

Aku tersenyum lebar, sambil dalam hati menghitung hari sampai tiba masanya aku bisa menggenggam tangannya, sebagai istrinya.


Donny

Aku menenggelamkan wajahku ke lekukan leher Mikha, sementara tanganku melingkari pinggangnya dengan sangat erat.

I don't want to let her go.

Selamanya, aku ingin memeluk Mikha seperti ini. Memastikan dia baik-baik saja dan bahagia saat hidup bersamaku.

Mikha memutar tubuhnya dan melingkarkan sebelah lengannya di leherku, sehingga aku duduk berhadapan dengannya. Dia tersenyum lebar—senyum yang akan selalu kulihat dan menyemangatiku untuk memulai hari. Juga senyum yang akan mengantarku ke dalam mimpi.

"Cinta kamu, Mas Donny," bisiknya. Dia meraih tanganku yang memeluk pinggangnya, dan melepaskan pelukan itu. Mikha mengganggam tanganku dan menempelkannya ke dadanya. Dia juga menangkupkan tangannya di atasku, hingga aku tidak bisa bergerak. "My heart is yours," bisiknya lagi.

Jika ada yang kusesali dalam hidup ini, itu adalah fakta bahwa aku tidak bertemu dengannya lebih cepat.

"My heart is yours," bisikku, mengulang ucapannya.

Sekali lagi, Mikha memberikanku senyuman terbaiknya. Pagi ini, aku memulai mimpi baru, dan ada Mikha di sana.

Selamanya.

Aku merebahkan kepalaku ke dadanya, membiarkan Mikha mendekapku erat.

"I love you, Mikha Mouse."

"I love you too, Donny Duck."

The End


PS

So, we are here at the end of the story. The thing is I don't have any intention to write this story. But one night, I have writer's block so I couldn't write any single word at Autopilot Series and I think that it would be good for me if I make another story. You know, to refresh my mind. So, my lazy ass makes me took Mikha and Donny and make a short story. Iseng aja bikin soal mereka, enggak ada niatan apa-apa sebelumnya. Cuma pengin nulis yang ringan-ringan aja. I never dream that you guys will love them and encourage me to write more about them. This is a huge step for me because I can finish it until the end. What a big dedication, he-he. So, thank you for all your love, comment, and support. Sorry for any wrongdoing since the first word until the last word. Much love from Mikha Mouse and Donny Duck.

See ya at another story.

[COMPLETE] Playing with FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang