Ch.20 Honesty

75.4K 7.1K 275
                                    

Sepulangnya dari rumah Bang Alan, aku malah memacu rumah menjauh dari Karawaci hingga berakhir di Menteng. Aku tidak ingin mengulur waktu, lalu keberanian yang mendadak muncul ini jadi lenyap begitu saja. Entahlah, aku tidak tahu kapan lagi keberanian ini akan muncul.

Aku mengetuk pintu rumah Donny. Jauh lebih menegangkan saat ini, dibanding ketika aku terakhir kali ke sini, berminggu-minggu yang lalu.

Donny membukakan pintu untukku, tidak seberantakan ketika aku terakhir kali menemuinya. Dia sudah mencukur habis facial hair sehingga membuat wajahnya tampak bersih dan hangat, seperti biasanya.

"Mikha?"

Selama ini dia mendinginkanku, mungkin dia tidak menyangka aku akan menghampirinya seperti ini.

The truth is, I don't want to live in the past. I need to move on, to open up new chapter in my life. Because of that, I need him. I need him to help me.

"Can we talk?"

Alih-alih menjawab, Donny membukakan pintu lebih lebar dan mempersilakanku masuk.

"Keberatan kalau menunggu? Sebentar lagi gue harus teleconference dengan klien." Donny menunjuk laptopnya yang terbuka di atas meja ruang makan.

"Lo mau gue kembali lagi nanti?"

Donny menggeleng. "Fifteen minutes. Lo bisa menunggu lima belas menit?"

Aku mengangguk, bersamaan dengan denting notifikasi di laptopnya. Setelah memastikan aku tidak akan ke mana-mana, Donny meninggalkanku dan menuju laptopnya.

Ditinggalkan sendirian, aku memanfaatkan momen ini untuk mengumpulkan semua keberanian yang kupunya. Sekaligus menyusun kalimat apa saja yang akan kuucapkan. Aku berkeliling rumah yang sepi, menatap foto yang banyak memenuhi dinding rumah, hingga menuju pintu belakang yang membawaku ke taman kecil di belakang rumah. Ada kolam berukuran sedang di sana, dengan ayunan besi dicat putih di pinggirnya.

Melihat rumah ini, aku bisa merasakan sentuhan Donny. Desain interior yang simpel dan minimalis tapi terasa hangat, juga taman kecil yang melengkapi suasana hangat sebuah keluarga di rumah ini. Aku selalu menemukan kesan itu di setiap hasil karya Donny, tapi di rumah ini, kesan itu terasa sangat kental.

Aku menuju ayunan putih itu dan duduk di sana. Perlahan, aku merebahkan diri dan meringkuk di sana, membiarkan angin menggoyang ayunan itu.

Tubuhku terasa sangat lelah. Mungkin, pergumulan yang memenuhi benak dan hatiku lebih menguasai, sehingga bebanku terasa berlipat ganda. Aku melirik Donny dari balik kaca pemisah rumah dengan taman ini, dan melihat dia masih melakukan teleconference.

Angin sore membuaiku. Perlahan aku memejamkan mata, merasakan kelembutan yang diberikan angin, sekaligus kehangatan yang ditawarkan rumah ini.

**

Langit sudah berubah gelap ketika aku membuka mata. Rasa dingin menusuk tubuhku ketika aku tersadar sudah terlelap. Aku bangkit duduk, merasakan selimut terlepas dari tubuhku.

Saat itulah aku bersitatap dengan Donny. Dia tengah duduk di kursi teras yang ditarik hingga mendekati ayunan.

"Gue ketiduran?" tanyaku seperti orang bodoh, karena aku jelas sudah tahu jawabannya.

Donny mengangguk. "Gue butuh waktu lebih lama saat teleconference, tapi pas ke sini, lo sudah ketiduran. Habis dari mana?"

"Nengokin keponakan baru lahir."

Donny meraih termos kecil yang terletak di pinggir kolam dan menuangkaan isinya ke cangkir yang sengaja dia bawa ke taman ini. "Kopi?"

"Boleh. Thanks."

[COMPLETE] Playing with FireWhere stories live. Discover now