Ch.17 Sorry

73K 7.3K 222
                                    

PS: in this chapter, I just want to show that toxic masculinity is wrong in every aspect of our life. Especially, it just ruins yourself.


Refleks aku membanting pintu begitu melihat siapa yang menjadi tamuku. Namun, sepertinya Bayu lebih sigap atau mungkin dia sudah memperkirakan tanggapanku, karena dia dengan cepat menahan daun pintu sebelum menutup. Aku mengerahkan semua kekuatan yang kupunya untuk mendorong pintu itu agar tertutup, sementara Bayu melakukan hal yang sebaliknya. Dia menjadikan tubuhnya sebagai penghalang agar pintu itu terbuka.

"Mikha, please. Aku mau ngomong."

Aku menggelengkan kepala. "Pergi, Bayu."

"Mikha, kita enggak bisa kayak gini. Dengerin aku, please?"

Ucapannya sontak membuatku berhenti mendorong pintu. Bayu memanfaatkan momen itu untuk menyelinap masuk.

"Enggak bisa kayak gini lo bilang? After what you've done and now you have balls to confront me?" tanyaku sambil melangkah mundur. Aku berdiri di belakang sofa, menjadikan sofa itu sebagai perlindungan, sekalipun di sanalah Bayu memerkosaku.

Melihatnya membuatku kembali jijik kepada diriku sendiri.

Di depanku, Bayu berdiri dengan wajah memelas. Dia sepertinya cukup tahu diri, karena dia berdiri di pintu, menciptakan jarak yang cukup jauh di antara dirinya dan aku. Namun tetap saja, jarak itu tidak mampu menghapus kenangan buruk yang dia ciptakan di sini.

"I'm sorry," ujarnya pelan.

Andai permintaan maaf itu bisa membalik waktu.

"Telat. Enggak ada gunanya," semburku. "Gue enggak mau berurusan dengan lo lagi."

Bayu mengusap wajahnya. Setelah aku perhatikan, dia tampak lelah. Sepertinya dia memang sedang kalut, dan wajahnya yang memelas itu jelas bukan pura-pura untuk mengelabuiku agar memaafkannya.

Namun, sekalipun dia jujur, jangan harap aku mau memaafkannya.

Lebih baik aku masuk neraka karena memendam dendam ketimbang berdamai dengannya.

"Aku benar-benar salah."

"Salah karena semua ucapan lo yang nyakitin gue, atau buat tindakan lo yang enggak menghargai gue, atau untuk apa yang lo perbuat ke gue terakhir kali lo ada di rumah ini?" tantangku.

"Semuanya."

"Semuanya?" Aku tertawa tipis. "Tell me, what did you do to me the last you're here?"

Jika dia benar-benar merasa bersalah dan mengakuinya, aku ingin tahu, apa dia berani mengakui dengan lantang tingkah bejatnya kepadaku.

"I'm sorry."

Dia bahkan terlalu pengecut untuk mengakui perbuatannya.

Aku mendengus. "Sudahlah, ya. Gue ngasih lo kesempatan dan lo sia-siain itu. Lo bahkan enggak pernah appreciate semua usaha gue yang masih aja mau dibego-begoin dan percaya kalau hubungan kita masih bisa diperbaiki. Tapi gue enggak bisa menoleransi lagi. You raped me, Bay. How could you do that to me?"

Aku menyeka air mata yang mencuri keluar dari sudut mata. Sejujurnya aku tidak ingin menangis. Aku tidak ingin tampak lemah di depan Bayu, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis.

Bayu bergerak mendekatiku. Refleks aku mengambil bantal kursi dan melemparnya, membuat Bayu terkejut.

"Jangan dekat-dekat," hardikku.

Bayu kembali mempertahankan jarak di antara kami.

"Aku benar-benar menyesal, Mikha. Bukan hanya kamu, aku pun marah sama diriku sendiri. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri karena sudah berbuat seperti itu sama kamu. Aku benar-benar menyesal."

[COMPLETE] Playing with FireWhere stories live. Discover now