Ch. 30 Money

53.2K 5.8K 121
                                    

"Mas yakin enggak bosen ketemu aku tiap hari?" Mikha melirikku dengan mata menyipit, seakan dia tidak percaya dengan apa pun jawaban yang akan aku berikan.

Aku meraih tangannya dan menariknya untuk duduk di pangkuanku. Mikha tidak menolak. Dia melingkarkan tangannya di leherku, tapi tatapannya masih tertuju kepadaku dengan penuh ketidakpercayaan.

"Jangan-jangan kamu yang bosan ketemu aku tiap hari," timpalku.

"Gimana, ya?" Mikha pura-pura berpikir. Namun, detik setelahnya dia tertawa dan tidak lagi menatapku penuh curiga. "Diana enggak marah kamu ke sini?"

"Dia lagi di Banyuwangi, bantuin proyek dosennya. Itu anak kadang sibuknya ngalah-ngalahin kakaknya."

"Jelaslah. Dia, kan, aktif banget di kampus. Belum lagi urusan skripsinya, ya bakal sibuk banget." Mikha menatapku jail. "Kalau kakaknya ini paling cuma sibuk sama kerjaan dan pacar."

Aku terkekeh. "Kamu mau bikin aku sibuk lagi hari ini?" godaku.

Mikha benar, karena saat ini yang mengisi benakku hanya dua. Mencari tambahan modal usaha dan menghabiskan akhir pekan dengan Mikha. Walaupun setiap hari bertemu dengannya di kantor, tapi tidak banyak waktu yang kami habiskan berdua. Kadang aku harus kerja di luar kantor atau menghadiri meeting yang membuatku sulit untuk bertemu Mikha, bahkan untuk sekadar makan siang.

Jadi, aku tidak ingin menyia-nyiakan weekend untuk bertemu dengannya.

Apalagi sekarang, ketika aku sudah sedikit lebih dekat dengan berjalannya bisnis yang kubangun bersama Chris dan Mila. Rasanya badanku ingin dibelah agar semua tanggung jawabku bisa selesai tepat waktu.

Kalau Diana sedang pulang ke rumah, aku menghabiskan waktu bersama Diana. Kadang bertiga dengan Mikha. Hitung-hitung semakin mendekatkan Diana dengan Mikha. Namun, semakin hari kesibukan Diana malah mengalahkanku.

"Ngelihat kamu dan Diana bikin aku iri. Sejak dulu, aku pengin punya kakak atau adik. Jadi anak tunggal itu enggak enak." Mikha berkata pelan sembari memainkan kancing kemejaku.

"Kamu, kan, dekat dengan Bang Alan?"

Mikha pernah memperkenalkanku kepada kakaknya itu. Waktu itu dia butuh jasa desainer untuk mendesain kamar bayinya, yang akhirnya dikerjakan oleh Lisa. Aku masih ingat hampir mati kutu di hadapan Bang Alan yang menatapku seperti sipir penjara siap menghajar tahanan yang bermasalah. Aku belum pernah merasa setakut itu seumur hidupku.

Kata Mikha, kakaknya itu hanya ingin memastikan aku tidak punya niat jahat. Apalagi saat itu Bang Alan masih belum yakin kepadaku karena masalah Bayu, walaupun dia tidak tahu secara pasti apa yang sudah diperbuat Bayu. Aku mengerti mengapa Mikha tidak ingin memberi tahu kakaknya itu, karena bisa dipastikan Bayu hanya akan tinggal nama jika Mikha mengadu.

Beruntung lama kelamaan sikapnya melunak meski sampai sekarang dia masih overprotektif kepada Mikha.

"Iya, sih. Tapi jarak aku dan Bang Alan terlalu jauh. Jadi, jarang ketemu."

"Sepupu kamu yang lain, kan, ada."

Mikha mendengus. "Enggak ada yang asyik. Mbak Alana paling. Dulu ada Bang Dimas, tapi aku marah sama dia waktu nikah sama Mbak Nadia. Kak Cantika? Duh, jauh-jauh, deh. Males sama dia. Rese banget. Anehnya, Mama malah dekat banget sama dia."

"Cantika yang cantik itu, ya."

Aku baru saja menggali kuburanku sendiri karena Mikha langsung melemparku dengan bantal kursi. Dia menghajarku habis-habisan sekalipun aku sudah memohon agar dia berhenti.

"Awas, ya, kalau bilang cewek lain cantik di depan aku," ancam Mikha, setelah mendaratkan pukulan terakhir ke dadaku.

"Cewek cantik di luar sana memang banyak. Tapi, aku sayangnya, kan, sama kamu."

[COMPLETE] Playing with FireWhere stories live. Discover now