Ch. 37 Grande

51.5K 5K 111
                                    

"Trennya positif. Keep up the good work, guys." Mila menutup meeting pagi ini dengan bertepuk tangan sendiri. Mila memang sangat ekspresif, sehingga dia selalu jadi penyemarak di tengah-tengah kelompok. Baik saat masih SMA dulu, maupun sekarang.

"Oke. Gue balik ke kantor, ya." Chris membereskan barang-barangnya dan bangkit berdiri. "Keep me update."

Berbeda denganku dan Mila yang mendedikasikan waktu penuh kepada bisnis ini, Chris cukup menjadi salah satu founder dan legal advisor. Sejak awal dia sudah memberitahu kalau keterlibatannya hanya paruh waktu, karena dia masih menjalani profesi utamanya. Ya, kalau aku jadi Chris juga enggak akan mau melepas posisi mentereng di kantor sekelas Ernst & Young demi sesuatu yang enggak pasti. Safety net itu penting.

"Enggak capek apa jalan dua kayak gini? Resign, Chris." Mila terkekeh.

Chris hanya tersenyum tipis. "Ada anak yang harus gue kasih makan. Kalau ini kantor bisa ngasih gue sebanyak EY, gue resign."

Refleks aku melemparnya dengan kertas bekas yang kuremuk menjadi bola dan mendarat tepat di jidatnya. "Gue aminin omongan lo barusan meski kedengarannya enggak masuk akal."

"Well, a dream is a dream."

Di antara kami bertiga, Chris memang yang paling bijak. Juga sosok yang paling dewasa. Setiap langkahnya dikalkulasikan dengan baik dan hidupnya penuh dengan perencanaan. Bagi Mila, sosok seperti Chris sangat membosankan. Ketika aku memperkenalkan mereka dulu, Mila sempat naksir Chris, tapi langsung mundur dengan alasan, 'enggak bisa gue ajak bandel. Terlalu serius.'

Sayangnya, Chris salah langkah dalam memilih istri sehingga harus terjebak dalam perceraian paling ribet dan menguras emosi yang pernah kulihat. Juga perceraian paling mahal, sehingga Chris harus rela menguras habis tabungannya agar bisa mendapatkan hak asuh Starla. Tidak heran jika dia sering melempar jokes bangkrut karena mantan istrinya benar-benar memerasnya habis-habisan.

"Gue juga punya anak, bukan cuma lo doang," balas Mila.

"Laki lo Sutowo, Nyet. Tujuh turunan juga kagak habis itu harta laki lo." Chris membalas sewot, tapi hanya bercanda. "Gue cabut, ya."

"Bye, ganteng." Mila berteriak kencang mengiringi kepergian Chris.

Aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahnya. Kalau dipikir-pikir, kenapa aku betah berteman dengannya selama belasan tahun ini?

Pertemanan kami dimulai di kelas 2 SMA, ketika Mila menjadi wakil ketua kelas dan aku yang jadi ketua kelas. Sosoknya yang lebih vokal dan selalu menjadi pusat perhatian membuatnya lebih tepat disebut ketua kelas dibanding aku. Namun, kami malah jadi akrab sejak saat itu.

Sementara aku bertemu Chris ketika sudah bekerja, tepatnya ketika kami sama-sama mengambil diving license. Hobi menyelam itu membuatku jadi berteman dengan Chris, meski sudah lama sejak terakhir kali kami menyelam bersama. Tepatnya, semenjak pernikahan Chris hancur dan dia disibukkan mengurus perceraian sekaligus menjadi single father untuk Starla.

Ketika Mila kembali ke Jakarta setelah kuliah di Sydney, aku memperkenalkannya kepada Chris ketika kami liburan bersama. Tadinya aku sempat yakin mereka akan pacaran, tapi Chris yang hidupnya super lurus itu kurang menantang bagi Mila. Ternyata, mereka malah cocok berteman ketimbang menjadi pasangan. Lagipula, Mila akhirnya bertemu Adrian Sutowo yang menjadi suaminya sekarang, sementara Chris jatuh cinta kepada perempuan lain walau akhirnya pernikahannya gagal.

Sementara aku, tetap menjadi satu-satunya manusia single di antara mereka.

"Mya apa kabar?"

"Dia minta izin tiga hari ini, harus ada yang diurusnya."

[COMPLETE] Playing with FireHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin