Ch. 6 Coffee Talk

82.2K 6.8K 55
                                    

Lisa masih tidak bisa ke kantor, sehingga aku memindahkan meeting dari kantor ke apartemennya di menit terakhir. Beruntung Lisa tinggal tepat di seberang kantor sehingga tidak butuh waktu lama untuk menemuinya.

Namun, meeting itu dengan segera terabaikan karena aku terlanjur terbuai dengan kenyamanan yang ditawarkan apartemen Lisa. Akhirnya, aku dan Lisa menutup laptop. Sebagai gantinya, dia menyalakan televisi. Aku menyeduh kopi untukku dan air mineral untuk Lisa, serta membuat popcorn. Sepanjang siang ini, kami malah menonton dan mengobrol ngalor ngidul. Sepertinya ini bukan jam kerja, melainkan seperti menginap di rumah teman.

Entah bagaimana awalnya, obrolanku dengan Lisa semakin keluar jalur. Salahkan film yang kami tonton. Adegan ketika Michael Fassbender tidak bisa menahan nafsu sehingga masturbasi di toilet kantor, Lisa malah menggiring pembicaraan menjadi office sex.

Aku teringat Donny yang kutinggalkan untuk kedua kalinya.

"Gue, sih, enggak yakin lo bakal berani ngelakuin itu di kantor," ujarku sambil menyesap kopi.

Lisa tidak menjawab. Saat menatapnya, aku melihatnya sedang tersenyum penuh arti. Senyumannya itu membuatku berpikir bahwa dia pernah melakukan office sex.

"You did it?" tanyaku sekadar mengonfirmasi.

Lisa mengangkat telunjuknya dan menyengir lebar. "Satu kali," ucapnya.

Aku membenarkan posisi duduk hingga menatapnya. "Di kantor kita?" Aku tidak bisa membayangkan tempat di kantor menjadi saksi luapan nafsu rekan kerjaku. Bagaimana jika dia pernah melakukannya di ruang meeting? Aku tidak akan sanggup menatap meja di ruangan itu sesuai fungsinya yang sebenarnya.

Seperti aku yang tidak sanggup lagi melihat meja pantry sesuai fungsi yang seharusnya.

Beruntung Lisa menggeleng. "Di ruangannya Ralph."

"Wow," seruku. "How?"

Lisa mengangkat bahu. "It just happened. Kita lagi makan, trus dia ditelepon bosnya, dan pas dia lagi ngobrol di telepon, dia kelihatan tempting aja. Mungkin gue kena bisikan setan, karena gue malah ngasih dia oral sex." Lisa terkikik. "Lagi seru-serunya, sekretarisnya masuk. Untung badan gue kecil, jadi bisa disembunyiin di bawah meja. Kebayang enggak dia lagi ngobrol di telepon sama bosnya atau pas sekretarisnya masuk, gue lagi sibuk di bawah dia."

"You're crazy."

Tawa Lisa makin kencang. "Tapi gue enggak nyesal, meski gue enggak mau lagi ngelakuin itu." Lisa membaringkan tubuhnya di karpet. "I just can't help myself everytime I'm with him. I know you understand."

"Yeah. Kalau aja gue enggak tiba-tiba sadar, udah kelepasan di meja pantry."

"What?" Lisa mendongak dan menatapku. "My sweet little Mikha kok bisa jadi naughty begini?"

Detik itu aku tersadar sudah keceplosan. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal sekaligus mencari alasan.

"Gue enggak bakal bisa ke pantry lagi karena ngebayangin lo dan Bayu di sana."

Bayu. Tentu saja Lisa berpikir itu Bayu.

"Bukan di kantor kita, tapi di tempat Bayu." Aku terpaksa berbohong.

"Isi kantornya Bayu kan orang-orang tua semua. Gila juga lo."

Aku hanya menyengir tanpa bisa menjawab. Sebaiknya aku menahan diri untuk tidak berkata apa-apa lagi jika tidak ingin semua kebohonganku terbongkar.

Namun Lisa sepertinya tidak mau meninggalkanku begitu saja.

"Kenapa bisa?"

"Ya... waktu itu gue ke tempat dia. Udah lama enggak ketemu juga, sih. Kangen kali, ya?" Aku terpaksa membuat kebohongan lain. "It's just makeup sex I think?"

Lisa mengangguk paham. Sepertinya dia termakan kebohonganku.

"Sometimes makeup sex will lead you to the very hot one." Dia mengedip, menggodaku. "Apalagi yang udah pacaran lama kayak kalian. Mungkin bisa mengembalikan bara yang telah lama padam."

Biasanya aku akan tertawa mendengar guyonan Lisa yang suka sok puitis. Namun tidak kali ini. Aku malah mencerna ucapannya.

Mungkin itu yang kubutuhkan. Memanggil kembali rasa yang dulu pernah kumiliki.

[COMPLETE] Playing with FireOnde histórias criam vida. Descubra agora