16 : Pulpy Orange

2.4K 404 24
                                    


"Jaiz, gue tahu lu sibuk kerja diluar. Project KTI lu juga pasti udah jerit – jerit minta nilai A kan? Tapi gue harap hal itu gak bikin lu abai sama tanggung jawab lu sebagai redaktur senior. Jangan sampe gue terpaksa ngeluarin SP 1." ucap Hanif pelan namun menusuk.

Jaiz hanya diam tertunduk dalam. Tak ada yang bisa dibantah. Semua perkataan Hanif benar, Jaiz hanya perlu menunduk dan mengangguk merasa bersalah.

Hanif tak berbicara lagi setelah itu, Ia memilih keluar sekre entah kemana. Tempat duduk Hanif disamping Jaiz pada salah satu sofa sekre, kini diisi Wishaka. Pemimpin Redaksi Pers Kampus itu menepuk bahu Jaiz, menyiratkan lelaki itu untuk segera menatapnya.

"Gue ngerti, lu lagi kejar setoran. Kerjaan, Lomba, Nilai, bahkan Pers Kampus. Gue sih gak masalah. Toh, masih bisa gue handle. Meski Hanif dan Jinan tetep keukeuh, kalo itu gak sehat. Gue pun ngerti, maksud mereka supaya kita kerjaib jobdesk masing – masing."

Wishaka menghela nafas. "Gak munafik, gue juga punya ego sebagai Pimpinan di sini. Gak masalah terjun langsung redakturin anak – anak, nulis berita dan liputan lagi pun gak masalah buat gue. Masalahnya adalah, perlu ada kaderisasi bukan? Kepengurusan perlu berganti nantinya. Tahun depan, mana tahu gue masih di sini atau enggak. Budaya kerja yang sehat juga perlu dipikirin. Lu ngerti maksud gue kan Jai?"

Jaiz mengangguk mengerti. "Maafin gue Shak. Gue emang kacau. Tapi bukan berarti gue lepasin Pers Kampus gitu aja. Gue masih ada niat baik di sini."

"Its ok. Take your time. Adanya lu di Pers Kampus aja, udah jadi bukti tekad lu buat bertahan kok."

Setelahnya, Wishaka kembali bangkit dan duduk lagi di kursi putar depan computer. Sementara Jaiz menyender pada sofa dengan wajah terangkat ke atas.

Sulit juga ya, bertahan hidup.

Mengandalkan uang orang tua, rasanya sudah malu.

Apalagi Ibunya sering sakit. Ayahnya entah kemana. Ia punya adik pula. Kakaknya juga sibuk bertahan hidup sendiri. Sedangkan dirinya harus mulai cari penghasilan juga.

Sembari tetap kuliah sesuai keinginan Ibu, dan tetap di Pers Kampus demi seseorang.

Jaiz harus bertahan.

"Nih ..." Dorongan sebuah botol pulpy orange dingin menghampiri wajah Jaiz. Ia melihat ke arah si pemberi, mendapati gadis jangkung dengan wajah juteknya.

"Kesurupan apa lu Wa?"

"Mumpung gue baik nih. Mau gak?"

"Iya mau." Mata Salwa mengerjap sekejap. Sedangkan Jaiz membuka botol dan meneguknya setengah.

Ia mendapati Sekretaris Litbang itu masih dihadapannya begitu Ia selesai minum. Mata Jiaz melunak melihat kegugupan dan kekhawatiran Salwa di sana.

"Gue gak apa – apa kok. Santai." Gadis itu hanya mengangguk, Jaiz tersenyum melihat Salwa pergi tanpa melihatnya kembali. Menenteng begitu saja tasnya, tanpa berpamitan dengan penghuni sekre lain.

Wishaka melihat itu dengan dagu yang Ia tangkup oleh tangan kirinya di meja, bibirnya mengerucut lucu tapi matanya menatap tajam.

"Kamu manyun – manyun gitu minta dicium apa gimana sih?"

Mata Wishaka mengerjap kaget, mendapati Kanaya melihatnya dengan sengit di sampingnya. Kursi Putar satu lagi yang ada disamping Wishaka kini bergerak pelan, Wishaka tiba – tiba merasa was – was.

Pluk!

"Jangan sembarangan manyun! Ganggu konsentrasi aku tahu! Kalo tugas aku gak beres – beres salah kamu ya!" Tangan Kanaya dengan sengaja menepuk bibir Wishaka gemas. Setelah itu Ia kembali focus dengan laptop di hadapannya, tugas mata kuliah dasar penulisan yang harus Ia selesaikan segera.

Pers Kampus 2.0✔Where stories live. Discover now