52 : Talking To

2K 337 83
                                    


Beres kelas, dia langsung keluar jalan, menunggu lift di lantai tiga gedung FT.

Kelasnya yang ketiga hari ini baru saja beres jam 16.00 WIB.

"Hello Nana! Whatsupp Bro," sapa seorang temannya.

Nana membalas dengan senyum tipis dan menyambut high five dari dua temannya itu.

"Mau kemana lo? Ikut nongkrong dah, anak – anak kumpul noh di upnormal pinggir," ajak seorang lainnya.

"Ah, dia sih paling ke sekre. Udah bosen gue ngajak alesannya mau ke sekre mulu," sebal yang tadi menyapa.

Mereka adalah kedua teman sekelasnya saat semester dua dulu, sebut saja yang menyapa namanya Bian dan yang mengajak namanya Ryan.

"Kapan – kapan deh ya gue ikutnya," tolak Nana halus.

"Jurnalis mahasiswa emang sesibuk itu ya Na? padahal jadi mahasiswa kupu – kupu aja gue masih suka keteteran sama tugas. Apalagi kalo udah muncul tugas maket." Bian mulai menyerocos.

Kalau perkara sibuk, anak Pers Kampus memang sibuk. Tapi tugasnya di Departemen Perusahaan untungnya tidak sesibuk redaksi yang harus liputan tiap hari. Dia bisa kerja dari rumah sebenernya kalau sirkulasi, karena tugasnya menyebarkan berita ke segala media sosial kan lewat ponsel atau laptop juga bisa. Kontent iklan, dibagi oleh Naresha selaku Pimprus selama seminggu dua kali dengan pembagian antara dirinya, Dana, Arya, Mark, dan Wira.

Tapi memang, sudah setahun lebih ada di Pers Kampus, kebiasaan untuk selalu datang ke sekre sehabis kelas atau begitu sampai kampus sudah mendarah daging. Rasanya, jadi malas nongkrong di tempat – tempat aneh atau kekinian itu. Lebih seru dengerin omongan anak – anak sekre meski lebih sering gak jelasnya. Entah tiduran, wifi, baca buku, main game, apapun itu.

"Hmm, lumayan sih. Tapi masih ke kejar kok."

"Btw, gue pernah tuh liat lo lagi sama cewek di parkiran tempo hari, inget gak? Yang senyumnya manis, rambutnya di gerai selengan itu. Anak Pers Kampus kan dia? Gue pernah liat dia pake kemeja PK soalnya pas acara teknik bulan lalu."

Mengingat siapa perempuan yang pernah bersamanya di parkiran dalam waktu dekat ini, dan seingatnya dia hanya pernah membonceng Jelita. Saat terakhir kali, diminta Naresha mengambil baliho.

"Siapa namanya Na? kenalin gue dong?" rangkul Ryan.

Mata Nana refleks mendelik. "Gak."

"Kenapa? Inceran lo?"

"Ya ngapain juga lo minta kenalin ke temen gue."

"Karena temen lo makanya gue minta kenalin lah."

"Gak bisa, dia anak sekre. Kalo lo macem – macem, singa yang ngamuknya banyak."

Ryan berdecih mendengarnya, gagal dia mau punya gebetan cakep. Ryan lalu melirik Bian yang malah meleng tidak tahu melihat apa. Ia menyenggol lengan Bian pelan, "kenapa lo? Kesambet?"

"Ehh ehh Na, itu Bang Siddiq kan?" tanya Bian, Nana menoleh melirik arah yang ditunjuk Bian.

Mendapati Siddiq tengah melamun di kursi lorong sendirian, tak jauh dair lift.

"Lagi banyak masalah apa gimana? Ngahuleung tarik kitu. (ngelamunnya kenceng bener)," ujar Bian.

"Padahal dia dipuji – puji dosen mulu, gara – gara menang lomba terus kepilih designnya buat Perpus kota. Kok malah keliatan kaya setengah nyawanya ilang gitu," komentar Ryan, melihat Siddiq yang menatap tembok putih di hadapannya kosong.

Meski bukan anak Persma, tapi di Kampus ini Siddiq memang well-known sih, apalagi Fakultas Teknik, khususnya Prodi Arsitektur. Udah kaya free pass aja nama Siddiq tuh, bisa dipake namanya buat nerobos setiap celah informasi dan ruangan di Fakultas Teknik.

Pers Kampus 2.0✔Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon