75 : Angkatan 16 - Dinding Terakhir

2.4K 332 53
                                    

Lima orang menatap pemandangan di hadapan mereka sembari mengigiti sedotan dalam gelas merasa gemas. Sampai akhirnya, yang dari tadi dilihat bicara berpamitan.

"Nanti kalau udah nyampe rumah kabarin ya," pesan teman mereka, yang di depan lalu mengangguk dan menoleh sedikit pada lima orang yang sejak tadi melihatnya."Semuanya, Aku duluan ya."

Satu dari lima, Hanna, tersenyum dan mengangguk,"Hati – Hati Kak Irene."

Selepas perginya Irene dari sana, mereka kembali melihat ke arah satunya lagi.

"Kak, lu udah ngelamar ya?" tanya Hanna. Yang ditanya, SIddiq, hanya mengulum senyum.

"Gue liat tuh ada kalung di sana," selidik Brian. Matanya memicing penuh desakkan.

Merasa tak perlu berdalih, Siddiq mengangguk,"Iya."

Wendy menganga dengan wajah gembiranya, bertepuk tangan heboh bersama Hanna berdua.

"Iya apa?" tanyanya ingin lebih jelas, memancing semburat merah di pipi Siddiq.

"Iya, gue udah lamar."

Orion memukul meja taman cukup keras,"MANTEP!" sementara Hanif hanya tersenyum ikut merasa senang. Tidak hanya Siddiq senang kembali dengan pujaan hati, dirinya juga senang tak akan lagi dijodoh – jodohkan oleh orang tuanya dengan Irene.

"Diterima dong ya? Makanya kalungnya dipake? Wih, kok lu bisa tahu si Bri?" heran Orion.

"Ya lu liat aja, daritadi Siddiq ngeliatin Irene dan kalungnya terus. Irene juga keliatan lebih lebih malu – malu dibanding biasanya kita liat dia sama Siddiq. Mana pas sidang mereka langsung pergi lagi berdua." Orion merangkul dan menepuk bahu Brian bangga,"Darah Litbang emang gak pernah mati ya."

"Rencana nikahnya kapan Kak? Mau jadi bridesmaidnya dong," pinta Hanna, Wendy mengangguk ikutan meminta.

"Masih lama, wisuda aja belum. Kerja juga belum, harus nabung dulu, banyak yang harus dipersiapin juga. Kalian tuh, kapan mau mulai garap skripsi?" pertanyaan Siddiq sontak membuat murung semua orang di sana.

"Gue udah capek kemana – mana ditanya skripsi," suntuk Orion.

"Tiap di rumah gue juga ditanyain mulu sama orang tua, adek, sodara, bahkan tetangga juga jadi ikut – ikutan kepo. Katanya kalo kelamaan gue jadi perawan tua," kesal Wendy.

"Tunjukkin Pak Jaksa aja kali Wen," saran Hanif. "Udah, pas Kang Hanan jemput gue sengaja nyuruh dia nunggu deket tukang sayur depan rumah yang suka lewat. Terus gue sengaja gandeng dia sampe masuk mobil. Puas banget gue liat muka Ibu – Ibu yang ngeledekin gue perawan tua dan gak laku pada mingkem."

Penjelasan Wendy yang menggebu – gebu itu mengundang kekehan teman – temannya. Membuat Wendy jadi ikut tertawa.

Pertanyaan kapan skripsi, kapan nikah, kapan punya anak, memang sudah rawan terdengar di usia mereka. Penghujung masa kuliah yang sebentar lagi usai.

Wendy memperhatikan satu persatu orang yang ada di sana, merindukan moment seperti ini bersama mereka.

Angkatan 16 duduk melingkar di sebuah meja taman, namanya Taman Lansia, letaknya ada di tengah kota Bandung. Tak terlalu jauh dari Museum Geologi. Meski bernama lansia, tapi taman ini cukup banyak berisi anak muda yang sengaja duduk – duduk santai di bangku – bangku menikmati angin sepoy - sepoy.

Orion menumpu tubuhnya pada kedua tangan yang ia letakan ke balakang guna menahan bobot tubuhnya. Kepalanya sedikit mengadah, memandang ranting pohon dengan daun – daunnya jauh di atas sana.

"Kita udah tiga tahun ya di Pers Kampus. Bentar lagi harus pergi dari sekre."

Masih mengadahkan kepala, angin menerpa wajah kecilnya, menerbangkan beberapa helai rambut Orion yang mulai memanjang, terutama bagian poni. Tapi seolah menikmati, lelaki itu membiarkannya.

Pers Kampus 2.0✔Onde as histórias ganham vida. Descobre agora