31: No One To Be Wrong

2.4K 342 23
                                    

Wendy menutup mulutnya terkejut, Hanna melongo tak percaya, Kanaya bengong mendengar cerita yang didengarnya, sedangkan Salwa langsung sambat otomatis, "ANJIR SERIUSAN LUO Dia berlutut? Di depan lo?"

Senin mengangguk lemah, "gue buntu, udah nyoba buat nolak, tapi gak bisa. Sesayang itu gue sama cowok bajinan itu."

"Lo emang yakin, dia bakal berubah?" tanya Hanna.

"Seenggaknya, lo yakin gak hati dia udah sepenuhnya milik lo?"

"Keyakinan sih ada. Tapi keraguan juga masih. Ya ... gimana, liat dia kaya gitu mana tega gue Nay?" Balas Senin pada penuturan Kanaya.

Semua gadis di sana mengangguk mengerti. Kalau sudah cinta, mau diapakan lagi?

"Ya udah. lo-nya juga masih cinta. Lo sendiri yang bilang Jinan sampe segitunya," sahut Salwa.

"Iya. Cowok udah berlutut tuh, artinya dia udah nyerahin seluruh harga dirinya buat lo. Jangan disia – sia kan sih, takut timing-nya lepas," dukung Wendy merangkul bahu Senin.

Tengah serius mengobrol di sekre yang kosong, dari arah pintu sekre datang Jelita yang ditemani Mark. Masuknya mereka, membubarkan bahasan para perempuang angkatan dua dan tiga.

Mencob menghindari beradu tatap dengan Jelita, namun ternyata gadis itu malah berjalan mendekat ke arah Senin.

"Teh Senin, bisa ngomong sebentar gak?"

Senin menoleh dan memandang tanya, namun diikuti juga langkah kaki Jelita ke Parkir Atas.

....

Sesampainya di sana, Jelita mencoba merapal kembali segala ucapan yang sudah dirinya persiapkan. Namun belum juga dirinya bicara, seniornya di Fikom sekaligus Pers Kampus itu lebih dulu berusara, "kamu gak perlu minta maaf."

Jelita menoleh, melihat ke arah Senin yang diam dengan wajah tenangnya. "Bukan salah kamu. Ini juga bukan salah Jinan. Aku juga gak salah."

Senin tampak tenang mulai mengatakan apa yang dipikirkannya, "Perasaan itu gak bisa ditebak. Gak tahu datangnya ke mana dan dari siapa. Aku cukup paham, perasaan Jinan ke kamu gak beda sama perasaan aku ke Jinan awal dulu."

Binar di mata Senin masih ada sementara gadis itu mulai membahas Jinan. "Ketertarikan, rasa penasaran, dan kenyamanan. Perasaan itu sulit dikendalikan. Kadang otak dan hati emang gak sejalan. Aku merasa, itu juga yang terjadi sama Jinan. Dia kesulitan mengendalikan perasaannya sama kamu. Meskipun aku tahu itu, aku gak bisa menampik prasangka buruk dan sakit hati aku."

"Bukannya wajar ketika aku sakit hati liat pacar aku sendiri perhatian dan ngasih kenyamanan sama perempuan lain. Bahkan ketika dia cuman senyum sama kamu pun, aku sakit hati, marah dan kecewa. Karena aku tahu apa yang terjadi sama kalian," tutur penyuka thai tea tersebut miris pada dirinya sendiri.

Jelita menunduk, Ia benaar – benar merasa bersalah. "Maafin aku Teh."

"Aku terima permintaan maaf kamu. Tapi, ini bukan salah kamu. Bukan salah aku atau Jinan juga. Aku mutusin buat coba ngerti untuk kesekian kalinya. Cuman, kali ini aku gak akan nahan diri lagi. Ketika aku mulai merasa terancam, aku gak akan segan narik Jinan sekarang. Dibanding harus mendem rasa sakit hati dan cemburu sendiri. "

"Teh Senin,.." Senin menoleh, menemukan raut wajah bersalah pada Jelita yang kini memberanikan diri menatap langsung bola matanya.

"Aku emang sempet ngerasa goyah sama Kak Jinan. Jujur, aku pernah ada di titik hampir luluh. Dia ngasih kenyamanan yang di saat aku ngerasa kosong. Cuman, aku sadar, kalau apa yang dirasakan aku sama Kak Jinan itu karena adanya kekosongan. Karena kehampaan yang sama – sama kami rasakan."

Pers Kampus 2.0✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang