45 : Punch

2.2K 326 94
                                    

Tanpa basa – basi, begitu melihat Wira duduk sendiri di tengah gelapnya pelataran Psikologi, Wishaka langsung menyamber kerah kemeja yang digunakan sekretaris persuahaan itu, lalu meninju pipinya penuh emosi.

Merasa tak puas, Wishaka kembali menarik kerah Wira yang hanya diam tanpa berniat membalas atau bahkan menghindar. Malah, sudut bibir Wira yang koyak terangkat dengan sinis.

"Biar badan lo kecil, tenaga lo boleh juga Shak."

Tarikan pada kerah Wira semakin kencang, kilatan amarah jelas sekali terlihat dari mata Wishaka.

"Apa maksud lo ngomong kaya gitu ke Naya? Gue udah denger dari Sian, jadi lo gak perlu nyangkal lagi."

"Emang gue ngomong apa? Emang lo tahu gue ngomong apa sama Naya?"

"Pas gue putus sama Naya, lo ngedektin Naya. Bahkan terang – terangan bilang ke Sian sama Jinan lo mau PDKT-in dia. Tapi karena ada Mina, lo ngurungin niat lo, tapi lo tetep diem – diem masih naruh hati sama cewek gue. Lo pikir gue gak tahu?"

Wira terkekeh, "mana mungkin lo gak tahu, semua orang tahu lo super peka. Bahkan pada curiga, kalo lo punya indra ke enam."

"Gue enggak lagi bencanda ya Wir."

Tarikan di kerah Wira terlepas.

Tatapan emosi masih diberika Wishaka.

"Kenapa lo gak nanya ke cewek lo sendiri? Emang lo bakal percaya sama apa yang gue bilang?"

"Karena gue tahu, Naya gak mungkin khianatin gue. Tapi gue gak percaya sama lo, gimanapun, insting cowok lebih kuat buat narik mangsanya."

"Gak mungkin?" Wira tersenyum tipis, terlihat mengejek.

Langkah lelaki itu maju satu langkah ke hadapan Wishaka,

"Gimana,.."

Maju kembali selangkah.

"Kalau ternyata—"

"WISHAKAA!"

Teriakan nyaring datang dari arah lorong gedung ormawa ke pelataran Fakultas Psikologi. Kanaya muncul dari sana dan berlari ke hadapan Wishaka, merentangkan tangannya, melindungi Wira di belakang tubuhnya.

"Nay.."

Pimred Pers Kampus itu terkesiap melihat Kanaya yang tiba – tiba datang dan menghadangnya.


. . . . 


Sore di Sekre kini hadir dengan tenang, Jinan melamun sendiri di kursi putar yang Ia bawa ke tengah ruangan.

Sian asyik sendiri dengan ponselnya di sofa. Tak lama Salwa masuk dengan wajah juteknya.

"Kenapa lo? Udah mesem aja tuh muka."

Salwa tak memperdulikan ucapan Jinan, Ia duduk di sofa dekat rak buku, sebelahan dengan Sian.

"Kemaren ada rame – rame apaan sih? Kok anak cowok pada heboh di grup?" tanya Salwa merujuk pada chat Mark, Yohan, Daniel, Orion, Jinan dan Brian yang ribut di grup chat seperti sedang menyoraki pertandingan bola.

"Sobat kecil gue hampir jadi pembunuh Sal," jawab Jinan tanpa melihat ke arah Salwa. Kening Salwa berkerut binung, "pembunuh? Siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan Wishaka," sahut Sian masih asyik dengan ponselnya, pasa Salwa intip lagi main cacing ternyata.

Jinan mendelik sebal pada Sian, "gara – gara lo kampret!" dorong Jinan pada kaki Sian dengan kaki panjangnya.

Helaan nafas kasar keluar dari Jinan, dia menatap pintu sekre yang terbuka tapi tak ada yang masuk itu, orang lewat pun tak ada, yaah karena memang sekre mereka paling ujung lorong juga sih.

Pers Kampus 2.0✔Kde žijí příběhy. Začni objevovat