Chapter 4

66.8K 5.9K 1.1K
                                    

Hai... Semoga masih betah main di sini 🤗🤗
Mohon koreksinya kalau ada typo atau kalimat rancu. Belum sempat edit 🙏🏻



Happy Reading




Tujuh tahun kemudian


Dentuman musik di seluruh penjuru kamar membuat tubuh itu meliak-liuk ke sana - ke mari dengan lincah. Seperti cacing kepanasan, dia tidak sama sekali bisa diam dan begitu hyperactive. Kedua tangannya mengepang rambut, sedang perutnya terus bergerak mengikuti alunan musik milik sang Raja Pop Michael Jackson. Sesekali, lantai yang agak basah bekas dirinya mandi itu pun dijadikan tempat untuk melakukan moonwalk. Dari satu sisi ke sisi lain.

"Billie Jean is not my lover. She's just a girl who claims that I am the one. But, the kid is not my son, uhuuu!" Ia memegang bawah pusar, melakukan pergerakan berputar dengan cepat untuk penutupan dari konser kamar mandinya yang berlanjut ke kamar tidur. "The kid is not my—"

"Allea, jangan not my Son, not my Son terus kamu. Cepetan turun, sarapan!" pekikkan nyaring Ayahnya dari luar kamar terdengar seperti seorang ibu tiri yang tengah gregetan.

Allea terlonjak kaget, dan tanpa bisa dikendalikan tubuhnya yang tengah berputar mengikuti iringan musik terbentur dinding cukup keras. Ia terhempas, ambruk di lantai.

"Aww!" Tepat. Bagian depan tubuhnya berciuman dengan dinding dan kini terbanting ke lantai. Ia yakin dahinya tidak lama lagi akan membiru.

"Lea, are you okay? Itu apa tadi?!" Ayahnya kemudian menggebrak pintu dengan khawatir.

Allea masih mengaduh, memegang dahinya yang terasa nyut-nyutan. "Dokter Tomy, I'm okay. Aku nggak sengaja kebentur dinding, but I'm still alive."

Semakin dewasa, ia tidak mengerti mengapa ia semakin tidak bisa diam. Setiap kali ada musik, bawaannya selalu ingin berjoget. Seperti sekarang, dari bangun tidur sampai akhirnya sebentar lagi selesai ia tidak bisa diam.

"Lebih baik kamu segera turun. Papa tunggu di meja, jangan lompat ke sana, lompat ke sini terus kayak pocong."

"Harus banget, Pak Tomy, disamain dengan pocong? Mana ada pocong semanis anakmu ini." Allea mendecak tidak terima.

"Lampu tidur kamu baru diganti ya tiga hari lalu. Papa nggak akan beliin yang baru kalau kamu pecahin lagi untuk entah kesekian kalinya. Bosen banget!"

Sambil mengusap-usap kening dan hidungnya, Allea berusaha bangkit. "Siap laksanakan, Pak Dokter."

"Allea, Papa nggak bercanda." Beliau mulai terdengar serius, dan Allea buru-buru mendekati pintu.

"Iya, Pa, iya... ini sebentar lagi Lea turun. Maklumin sih, namanya juga punya anak calon dancer profesional."

"Halah!" Dia tampak jengah, tetapi Allea tahu pasti dia tersenyum geli menanggapi ucapannya. Dia selalu mendukung apa pun yang ia suka, tidak pernah sekalipun melarang ia menekuni hobinya. Termasuk ikut les menari—karena itu adalah passion-nya sedari kecil.

Suara ketukkan sepatu Ayahnya terdengar menjauhi pintu kamar, dan Allea mulai bersiap-siap berangkat ke sekolah sambil membereskan bekas kegaduhannya. Sekali lagi, ia mengamati penampilannya yang berbalutkan seragam SMA di cermin. Ia memiliki tinggi 165 sentimeter, dan menurut yang lain ia tidak jelek-jelek amat. Walau tidak cantik juga. Ia memang memiliki julukan cacing, bukan karena ia tidak bisa diam, tetapi juga karena badannya begitu langsing. Itu bahasa halusnya. Kasarnya, ia sangat ceking. Mungkin karena ia begitu aktif, sehingga lemak terbakar dengan cepat dan tak betah menetap berlama-lama di tubuhnya. Apakah ini sebuah anugerah? Yah, terserah saja.

Chasing YouWhere stories live. Discover now