Chapter 42

93.8K 10.8K 5.9K
                                    

Haiii... ada yang masih nungguin enggak sih? Mana sini absen? 🙌🏻🙌🏻

Maaaff banget baru bisa muncul 😭 Lagi hectic parah 🙏🏻 Terima kasih banyak untuk vote dan setiap komentar barbar kalian. Ada yg bikin ngakak, ada yang bikin baper, nano-nano dah 😂

Mohon koreksi kalau ada typo...


Happy Reading



***
Selepas kepergian London, Allea langsung masuk ke dalam sementara Rion masih membeku di tempat—dengan sepasang mata yang masih terarah kosong pada koridor apartemen yang tak lagi menyisakan siluet siapa-siapa. Bocah itu telah benar-benar menghilang, tetapi ancamannya masih juga terngiang-ngiang.

Merebut ... Allea? Dia pikir dia siapa berani mengancamnya seperti itu?! Sekali injak saja, tulang tengkoraknya sudah bisa pecah—tetapi sok melayangkan ancaman.

Rasanya Rion gregetan sekali ingin melemparkan tubuh bajingan itu ke dalam liang lahat. Masih saja dia berani mendekati Allea, padahal jelas-jelas di rahim perempuan itu sekarang tengah bersemayam buah cintanya. Sungguh, tidak ada yang lebih menjengkelkan dari ini. Ia tidak percaya harus bersitegang dengan keponakannya sendiri, dan bersaing dengan seorang bocah SMA. Benar-benar tidak masuk akal!

"Anjing!" umpat Rion pelan nan tajam, masih belum juga mampu memudarkan rasa kesalnya terhadap si keparat itu. London sangat berhasil memancing emosinya sampai ke level tertinggi. Jika Allea tidak menghalangi, hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi pada bocah itu. Mungkin sekarang dia cuma meninggalkan nama—tanpa peduli dia anak siapa.

"Dasar bocah sialan!" Rion mengatur napas, menenangkan diri, meski yang terjadi sesak yang merambati ulu hati malah semakin menjadi-jadi. Sakit sekali ketika bayangan tentang Allea dan London yang saling melindungi mulai berputar liar di kepalanya.

Apa benar Allea mencintai London? Sejak kapan...?

Pertanyaan yang sama, tetapi jawaban kebenarannya tidak juga Rion temukan dalam otaknya. Meski bibir Allea sendiri yang mengatakan itu langsung, tapi ... apa iya?

Rion mengacak rambutnya frustrasi, berusaha mengenyahkan rontaan nyeri yang terus menyebar. Ia hanya tidak bisa membayangkan Allea jatuh cinta pada orang lain. Sementara nyaris separuh hidup Allea, hati itu selalu terarah padanya. Hanya dirinya yang dijadikan pusat dunianya. Bahkan ketika bibir Allea mengatakan benci, tetapi Rion tahu dia masih sangat mencintai—sama besar seperti dulu.

Namun, sekarang, mengapa ia mulai ragu? Debar jantungnya yang bertaluan nyaring, tidak bisa membohongi diri sendiri kalau Rion benar takut. Bukan pertama kalinya ia bertengkar dengan Allea, tetapi dulu dia tidak pernah setegas itu mengutarakan perasaan pada lelaki mana pun. Rion masih bisa dengan mudah membaca, berbeda dengan kali ini. Allea sangat tidak dikenalinya.

Atau, mungkin, Rion hanya kelelahan sehingga otaknya terlalu banyak memikirkan hal yang macam-macam. Tidak mungkin. Allea sangat mencintainya, dan saat ini dia hanya sedang kesal saja.

Benar, memang seperti itu.

Tidak ingin terlampau memikirkan hal kosong, Rion bergegas menutup pintu dan kembali masuk ke dalam menyusul Allea yang sedang merapikan obat-obatan yang berhamburan di lantai dan memasukkan kembali ke dalam kotak P3K seperti sedia kala. Beberapa botol obat pecah, ia hilang kesabaran ketika melihat Allea dengan telaten mengobati luka London. Mengabaikan dirinya, seolah ia tidak ada di sana. Rion bahkan tidak sadar sudah melakukan hal kekanakan itu. Refleks saja, dikendalikan oleh gelenggak amarah.

Memerhatikan Allea yang tidak sama sekali terganggu, ia tidak tahu mengapa rasa nyeri menerjang hatinya separah ini. Rion tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, segalanya terasa menyesakkan. Ia masih kesulitan untuk mengumpulkan kesadaran—pengakuan keduanya beberapa saat lalu masih belum juga menghilang dari ingatan.

Chasing YouWhere stories live. Discover now