Chapter 41

78.6K 10.4K 6.2K
                                    

Haiii... masih pada nunggu? 🙌🏻 Benar-benar maaf ya kalau update-nya ngaret 🥺🙏🏻 Kemarin aku ke luar kota bareng keluarga, kayak perlu refreshing gitu udah lama juga. Sumpek banget. Mana aku lagi kegilaan Leslar kayak orang-orang, kan jadi ngepoin mulu  🤧🤧 Mon maap pokoknyaa 🤕

Mohon koreksi kalau ada typo atau kalimat rancu



Happy Reading




***
Suasana ruangan hanya dalam sesaat berubah mencekam. Rion yang baru saja pulang, langsung membeku di tempat ketika melihat keduanya yang saling berpelukan. Entah sejak kapan Allea sering membawa London ke sini—hanya memikirkannya saja sudah membuat darah Rion mendidih ke level tertinggi. Dua tangannya terkepal kuat, diiringi detak jantung yang berdentam nyaring. Ia begitu marah, hingga tidak ada kalimat yang cukup mampu untuk menggambarkan betapa kini ia dilahap habis oleh amarah.

Jarak mereka cukup jauh, mata Rion tersorot tajam dengan kaki yang belum sanggup dihela ke depan. Ia benar-benar takut hilang kendali, sehingga sekuat mungkin untuk tetap di tempatnya agar tidak meledak dan menyingkirkan tubuh London secara membabi-buta di hadapan Allea.

Sementara dari balik punggung Allea, senyum tipis London tersungging—lantas segera mendorong bahu Allea pelan dan tak membiarkan Rion melihat wajahnya yang masih menyisakan darah kental di hidungnya. Kepala Allea sempat terbenam di atas dada London, sehingga titik darah pun menempel di hoodie hitam yang dikenakannya, untung tidak tampak kentara.

"Menyingkir dari hadapan Allea, bajingan kecil," rendah, suara Rion memberi peringatan tajam setelah cukup lama terdiam. Ia benar-benar berusaha untuk tetap tenang—bahkan harus memejamkan mata sejenak agar tidak kalap melihat kebersamaan mereka yang tampak mesra. "Pulang. Get the fuck off, Sialan!"

Kicauan kasar Rion tidak sama sekali dihiraukan oleh lelaki tujuh belas tahun itu. Dia tidak gentar. Keduanya masih berhadapan, saling bertatapan, dan tidak ada kalimat apa pun yang keluar. Jemari London dengan perlahan menyeka sisa darah kental itu, seolah kehadiran Rion tidak sedikit pun menjadi masalah. Seolah dia hanya embusan angin saja.

Allea dengan cepat akan bantu menyeka juga, tetapi ditahan oleh London agar dia sendiri yang membersihkan.

"Biar aku saja. Tangan kamu akan kotor," ucap London, menyeka, dan mengusapkan pada hoodie-nya sendiri. Tidak terlalu bersih, noda jejak darah berwarna kemerahan masih tampak jelas di sana. "Masih terlihat, Allea,"

"Tidak apa-apa, London. Aku bisa mencucinya ke kamar mandi."

Rion tidak mengerti apa yang tengah keduanya bahas. Ia hanya bisa menatap mereka dari belakang dengan nelangsa, sementara sesak menjalari dada. Ia juga tidak bisa melihat wajah Allea, terhalangi oleh tubuh jangkung keponakannya.

Allea hendak berjalan ke arah kamar mandi, tetapi pinggangnya segera ditahan oleh London agar tidak bergerak ke mana-mana.

"Jangan."

Napas Rion kian memburu kasar, netranya menajam. Sungguh, ia sudah tidak sanggup lebih lama lagi untuk meredamkan gelenggak amarah atas drama memuakkan keduanya. Mereka berdua sudah sangat melampaui batas kesabaran.

"Apa yang sebenarnya kalian lakukan?!" raut Rion menggelap, masih berusaha, masih mencoba untuk tetap tenang. Kepalanya sudah terlalu kusut, banyak sekali hal yang mengganggu pikirannya sekarang dan ia tidak ingin memperpanjang urusan dengan bocah itu. "Apa lo tuli, London? Gue bilang, pulang! Lo enggak ngerti bahasa manusia atau apa?!" tekannya lebih serius—ketika tidak ada pergerakan sama sekali darinya.

"Berbicara dengan Allea." Singkat—dia menyahuti.

"Gue enggak mengizinkan kalian berbicara!" sekali lagi, Rion menghardik. "Pulang-sekarang-juga. Atau, gue yang akan menyeret lo keluar dari sini. Lo pilih!"

Chasing YouWhere stories live. Discover now