Chapter 43 (Repost)

71.8K 10.1K 5.6K
                                    

Part ini aku posting ulang karena banyak banget yang bilang gagal muat, dan enggak ada notif. Semoga berhasil 🙏🏻

Haiii... maaf banget ya bikin kalian bingung sama notifikasi tadi sore. Hape jatuh ke muka, terus enggak sengaja keteken publish 😫😫 Maaffff bangettt 🙏🏻🥺 Beneran enggak niat ngeprank. Aku udah langsung infoin di igs untuk mengabaikan notif yang masuk saat itu juga setelah aku unpublish.

Chapter ini baru selesai ditulis, dan belum sama sekali sempat edit. Kalau ada kalimat rancu, atau typo, mohon koreksinya 🙏🏻❤️







Happy Reading



***
Setelah bergeming cukup lama di tengah ruangan, Rion ikut menyusul Allea ke kamar atas. Berdiri di depan pintu, ia mengangkat kepalan tangannya kuat hingga menonjolkan urat-urat untuk menggedor. Tetapi dalam sekejap mata, diurungkan. Tangannya kembali terkulai lemah ke sisi tubuh, sekali lagi Rion terdiam.

Ia tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan pada Allea untuk saat ini. Tarikan dan embusan napas dalam, berkali-kali dilakukan. Jantungnya masih berpacu sama hebat, sesaknya pun belum juga menghilang. Ini adalah salah satu malam terburuk yang pernah Rion rasakan. Ia tidak tahu harus seperti apa, bahkan untuk menahannya saja ia tidak bisa.

Rasanya terlalu melelahkan, dan hatinya sudah begitu berat menahan hujaman yang bertubi-tubi Allea keluarkan. Mereka perlu waktu untuk menjernihkan pikiran. Detik ini, Rion sudah merasa benar-benar di titik buram. Pun, ponselnya sedari tadi bergetar diikuti oleh pesan dari Sandra yang masuk dan menanyakan posisinya sekarang.

Tadinya, Rion pulang untuk berbicara dengan Allea. Tentang Natalie, tentang keadaan Sandra, dan bagaimana ia merindukan Allea juga. Ia rindu menyentuh perut buncitnya, bermanja-manja dalam dekapan hangatnya, hingga dia kesal dan mendumal tidak jelas. Tetapi yang terjadi, semuanya di luar ekspektasi. Keributan ini dan sikap dingin Allea sungguh di luar prediksi. Ia pikir segalanya masih baik-baik saja. Ternyata jauh di lubuk hati Allea, ada cinta yang telah dihapuskan entah sejak kapan untuknya dan digantikan dengan cinta yang lain. Sakit sekali. Berulang kali, Rion menyerukan kalimat itu dalam hati. Sulit menerima, barangkali karena ia sudah terlalu terbiasa dicintai olehnya. Bukan hanya satu atau dua tahun, tapi belasan tahun lamanya.

Mengapa bisa semudah itu?

Mungkin semuanya akan kembali normal, mungkin besok pertengkaran ini akan segera terlupakan, atau bisa jadi semua pembicaraan mereka tadi hanya omong kosong yang menyesatkan. Rion lebih berharap ia sedang bermimpi sekarang—terlibat lebih jauh pada perasaan yang ditinggalkan.

Apa benar mereka harus berhenti sampai di sini? Teman? Rion tidak mau dianggap sebatas teman. Tapi, sebagai apa? Allea hanya ingin dirinya menjadi seorang teman yang baik, tidak sudi lagi menganggap dirinya suami. Sementara di sisi lain, Rion juga tidak bisa meninggalkan Sandra dalam keadaan ini dan ia hanya berharap pengertian Allea untuk memberinya sedikit waktu bersama perempuan yang dicintainya sampai dia benar-benar pulih. Ia tidak bisa mengabaikan. Sandra membutuhkannya. Namun, jauh dari bayangan, Allea malah mempersilakan dirinya dan Sandra untuk saling berhubungan tanpa perlu memedulikan ikatan pernikahan mereka. Dia tidak sama sekali keberatan, tidak sedikit pun Allea memprotes atas perasaannya terhadap Sandra yang kini terlarang.

Rion selalu merasa Allea bukanlah perempuan yang dicintai, sebab hatinya masih dipenuhi oleh Sandra. Tetapi, saat Allea mengatakan dia berhenti berjuang, ia merasa ... kosong. Berapa banyak pun ia berpikir, hatinya tidak bisa bohong kalau kini ia terluka—jauh lebih parah dari hari di mana Sandra memutuskan hubungan mereka. Seharusnya tidak boleh begitu, kan?

Rion menunduk, ponselnya kembali bergetar. Di seberang telepon, Sandra masih menunggu panggilan untuk diangkat. Dia masih setia menghubungi, dan pasti mengkhawatirkannya yang sejak tadi terus mengabaikan.

Chasing YouWhere stories live. Discover now