-017-

850 31 2
                                    

"Kak Steven bangun!!! Ini sudah pagi. Kita akan pergi ke Mandalan bay beach jika kau lupa!" Teriak Erlina seraya menyingkap selimut yang dipakai Steven.

Steven hanya menggeliat di atas ranjangnya. Tidak ada niat sedikit pun untuk membuka matanya. "Kak Steven, ayo bangun," ketua Erlina. Ia mengguncangkan tubuh Steven.

"Enghh ... kakak masih mengantuk, Michell," protes Steven dengan suara serak khas bangun tidurnya.  Bukannya bangun, Steven malah menarik selimutnya sampai menenggelamkan tubuhnya. Matanya pun terpejam kembali.

"Ishh ... " Erlina geram melihat tingkah kakaknya. Erlina pun menyeringai. "Yasudah, jika kakak tak mau bangun, aku pergi saja sendiri," ancam Erlina.

Erlina membalikkan tubuhnya. Lalu, ia melangkahkan kedua kakinya  secara perlahan, menunggu reaksi apa yang akan diberikan Steven. Kira-kira berhasil tidak, ya?, pikir Erlina menimbang.

"Hufft ... memangnya sekarang jam berapa?" tanya Steven akhirnya. Erlina pun tersenyum bangga penuh kemenangan. Ia membalikkan tubuhnya kembali, melihat kakaknya yang seperti orang gila. Wajah bantal, mata beler, rambut acak-acakan, tidak lupa menguap seperti beruang kelaparan.

"Jam lima pagi," jawab Erlina dengan nada santai. "Oh, baiklah. Kita siap-siap ...," ucap Steven seraya mengucek-ngucek matanya dengan punggung tangan kanannya.

Sedangkan Erlina senyum-senyum tidak jelas seraya memandangi Steven yang tidak sadar akan sesuatu. "Baiklah, aku akan menyiapkan makanan." Erlina pun melenggang pergi.

Steven membenarkan posisinya menjadi duduk. Kedua manik matanya melirik jam yang bertengger di dinding. Dan ia baru menyadari sesuatu atas perkataan adiknya tadi, "What the ... " umpat Steven. "Michell!! ... ini terlalu pagi!!" Teriak Steven menggelegar.

Sedangkan Erlina, ia tertawa terbahak- bahak, "satu sama," ucap Erlina cekikikan, lalu pergi ke dapur.

🗽🗽🗽

"Morning, Kak. Sudah rapi sekali kakakku yang satu ini," ucap Erlina ketika melihat Steven yang sangat tampan dengan kaos hitam polos dan celana jeans putih. Tidak lupa sneaker berwarna senada dengan celananya.

"Hmm." Steven duduk disalah satu kursi makan. Erlina terkekeh melihat wajah kakaknya yang ditekuk sedari tadi. Ia tahu pasti Steven itu berada di mode marah.

Erlina membawa dua piring nasi goreng, dan dua gelas susu dari dapur. Lalu, menaruhnya di atas meja makan. Ia pun mendudukkan dirinya dihadapan Steven. "Kita sarapan dahulu, Kak. Aku juga sudah menyiapkan bekal untuk di sana," terang Erlina.

"Enak tidak, Kak, nasi gorengnya?" tanya Erlina. Yang lagi-lagi hanya dibalas anggukan oleh Steven. Erlina pun terkekeh pelan melihat kakaknya yang makan dengan terburu-buru seperti kebakaran janggut.

"Habiskan ya, Kak," ucap Erlina lagi. "Ya, ya-ya," balas Steven malas-malasan.

Mereka berdua sarapan dalam keadaan diam. Yang ada hanya suara dentingan sendok dan garpu. Tak ada yang memulai pembicaraan.

Tuk ...

"Sudah selesai, Kak?" tanya Erlina ketika Steven menaruh gelas kosong dengan agak keras. Lalu beranjak pergi ke ruang keluarga. Erlina yang melihat itu hanya mengedikan bahu tidak mengerti. Ia pun melenggang pergi ke dapur untuk mencuci piring. Setelah selesai mencuci piring, ia menghampiri Steven. Erlina pun duduk di samping Steven yang sedang asik menonton televisi.

"Kak Steven marah, ya?" tanya Erlina seraya menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Steven. "Kak, jangan marah, ya." Steven masih membungkam mulutnya rapat-rapat, padahal di dalam hati Steven, ia ingin tertawa.

My Conglomerate Husband (Completed✔)Where stories live. Discover now