-011-

2.8K 90 6
                                    

"Mari kita buktikan," ucap Amarlic seraya menarik tangan Erlina dan menjauhinya di sofa.

"Amarlic, apa yang kau lakukan?" tanya Erlina dengan nadanya yang sedikit ditinggikan.

"Mana ponselmu," ucap Amarlic seraya mengulurkan tangan kanannya seakan akan meminta.

"U---untuk apa?" tanya Erlina. Tanpa basa-basi, Amarlic pun langsung merebut slin bag Erlina yang terjatuh ke bawah. Amarlic mengambil ponsel Erlina yang ada di dalamnya.

Erlina yang melihat itu pun langsung berdiri menghadap Amarlic, "Apa kata sandi ponselmu?" tanya Amarlic menginterogasi.

Erlina menatap Amarlic dengan tatapan yang seakan meminta penjelasan. Kening Erlina berkerut, ia tak mengerti dengan keadaan ini.

"Mengapa kau menatapku seperti itu? Kata sandinya apa?" tanya Amarlic sekali lagi. Ia  menyodorkan ponselnya pada Erlina.

Ya tuhan tolong aku, aku tidak tahu harus berkata apa. Apa yang harus aku jelaskan? Aku tidak berani mengungkapkan perasaanku untuk saat ini, batin Erlina.

"Cepat Erlina!!" bentak Amarlic. Kedua mata Erlina berkaca-kaca, "I---itu ... ka---ta sandinya na---ma ..." Erlina tidak melanjutkan perkataannya. Bahunya bergetar menahan tangis.

"Nama siapa, hah?", tanya Amarlic. Sedikit lagi ia akan mengatakannya, batin Amarlic.

"Na---ma ... na---ma ..." Erlina tidak sanggup menyatakan perasaannya sekarang. Bukan keadaan seperti ini yang Erlina inginkan.

Prang ...

"Ponselku," teriak Erlina terkejut ketika melihat ponselnya tergeletak tak berdaya di lantai. "Kau ...," geram Erlina seraya menunjuk Amarlic tepat di depan wajah Amarlic.

"Kau perempuan pandai Erlina, tetapi mengapa sulit sekali hanya untuk mengungkapkan," sindir Amarlic seraya menepis jari telunjuk Erlina yang ada di hadapannya.

" ... " Erlina tak menjawab. Ia lebih memilih untuk mengambil ponselnya yang dihempaskan ke sembarang tempat oleh Amarlic.

Amarlic hanya memperhatikan raut wajah Erlina yang terlihat sangat sedih. Namun, ia mencoba kuat dihadapan orang yang dia cintai.

Seperti inikah cinta? Mengapa begitu sakit, dan bodohnya aku mencoba untuk terjatuh lebih dalam. Amarlic kau jahat sekali, aku sangat sedih, ini ponsel dari bu Ameera, batin Erlina.  air matanya pun turun begitu saja di pipi mulusnya.

"Apa kau masih tidak ingin mengakui perasaanmu padaku?" tanya Amarlic dengan nadanya yang melembut. Erlina pun berdiri dan memasukkan ponselnya ke slin bagnya.

Erlina menghampiri Amarlic, lalu menatap mata Amarlic dengan sayu, aku mencintaimu, Amarlic. Aku mencintaimu, sangat, Amarlic!!, teriak Erlina dalam hati. Apalah daya, Erlina tidak bisa mengucapkan apa yang ia rasakan.

"Maaf," ucap Erlina pelan dengan mata yang sudah bergelinang air mata.

"Untuk apa?" tanya Amarlic seraya membalas tatapan Erlina heran. "Maaf," ucap Erlina lagi. Erlina pun membalikkan tubuhnya hendak pergi jika Amarlic tidak menggenggam tangan Erlina.

"Mau pergi kemana, aku belum menyuruhmu untuk pergi," sahut Amarlic yang masih setia menggenggam tangan Erlina.

"Aku ingin pulang," ucap Erlina dengan suara parau. "Aku akan membuktikan jika kau mencintaiku, Erlina," celetuk Amarlic dengan penekanan di setiap kata-katanya.

Erlina membalikkan tubuhnya, "bukti?" tanya Erlina bingung.

Tiba-tiba  Amarlic menarik Erlina dengan kasar. Sampai Erlina menabrak dada bidang Amarlic. Amarlic menahan pinggang Erlina agar ia tidak bisa pergi. Lalu mendekatkan wajahnya pada wajah Erlina dan menahan tengkuk Erlina.

Apa yg ingin dia buktikan jika aku mencintainya?, batin Erlina. Ketika Amarlic memejamkan matanya. Ia pun cepat-cepat memalingkan wajahnya.

Cup

Amarlic mengecup pipi kiri Erlina, Amarlic pun menghembuskan nafasnya dengan kasar.

"Mengapa kau menghindar dariku?" tanya Amarlic yang belum menjauhkan dirinya. "Aku sudah katakan padamu, I don't love you," sarkas Erlina di depan wajah Amarlic.

"Hufft ..." Helaan nafas kasar Amarlic yang begitu  terasa di pipi Erlina. "Kau Laki-laki yang dingin, jutek dan cuek ..." Erlina menggantung ucapannya. Membuat Amarlic penasaran.

" ... siapa yang mau denganmu Amarlic, jika kau saja seperti es beku, dingin, dingin, dan hanya dingin yang ada pada dirimu," lanjut Erlina. Ia pun melenggang pergi menghampiri pintu.

Sedangkan Amarlic yang melihat itu hanya menyeringai. Erlina memutar-mutar handle pintu, oh, iya. Aku lupa, pintunya masih dikunci sama Amarlic, batin Erlina. Ia pun menoleh ke Amarlic yang sedang tersenyum meledek. Bodoh, kau bodoh Erlina, teriak Erlina di dalam hati.

Amarlic menghampiri Erlina, ia mengikis jarak dengan Erlina, hanya ada jara lima cm di antara mereka. Dan itu membuat jantung Erlina tidak bisa bekerja dengan baik.

"Permisi, Nona Erlina, aku ingin membuka pintunya. Jangan salah paham dahulu jika aku mendekatimu," celetuk Amarlic.

"Ah iya, maaf," sahut Erlina denga rona merah di kedua pipinya. Erlina menggeser tubuhnya agar handle pintu tak tertutupi olehnya, Amarlic pun membuka pintunya.

"Apa kau inginku antar?" tanya Amarlic. "A---ah, boleh-boleh. Namun, ini sudah pukul setengah sepuluh malam. Aku pasti dimarahi oleh ibuku," terang Erlina.

Amarlic langsung pergi begitu saja tanpa berniat menjawab ucapan Erlina. Erlina yang melihat hal itu pun menghela nafasnya berat sebelum ia mengikuti Amarlic.

Amarlic melenggang pergi tetapi bukan ke arah pintu keluar, tetapi ke kamar Rebecca. Ia membuka pintu kamar neneknya dan tersenyum melihat yang ada d idalam kamar tersebut. Lalu menutup pintu kamar itu kembali.

"Aku mau pamit dahulu ya dengan  nenek," ucap Erlina. Erlina pun menghampiri pintu. Ia hendak memutar handle pintu jika Amarlic tidak mencegahnya. "Mau apa?" tanya Amarlic dengan nada datarnya.

Sepertinya, telinga Amarlic sedang mengalami gangguan, batin Erlina. "Sudah kukatakan tadi, aku ingin pamit dahulu. Makanya, jika ada orang yang berbicara itu didengarkan," sindir Erlina.

"Berisik!!! Jika ingin pamit pulang itu lihat-lihat dahulu. Orangnya sudah tidur atau belum," sarkas Amarlic dengan menirukan seperti apa yang Erlina katakan.

"Oh, nenek tidur, baiklah." Erlina pun langsung melenggang pergi meninggalkan Amarlic yang masih berdiri diam seperti patung di depan pintu.

🗽🗽🗽

"Amarlic, pukul berapa sekarang?" tanya Erlina memecahkan keheningan di dalam mobil. "Memangnya tidak punya jam?" sindir Amarlic.

"Baterai jamku habis," sahut Erlina seraya mengerucutkan bibir ranum nya. "Lihat sendiri!" titah Amarlic. Ia menyodorkan tangan kirinya yang terpasang arloji berwarna hitam.

"Hufft, pasti dimarahi dengan ibu," gumam Erlina. Ia memilih untuk menatap keluar jendela mobil. "Kau pantas mendapatkannya," celetuk Amarlic tanpa menoleh sedikit pun.

"Ih, kok seperti itu?" tanya Erlina dengan menyipitkan matanya menatap Amarlic. "Ya, pantaslah. Siapa suruh kau pulang malam di atas pukul sembilan malam," jawab Amarlic.

"Bukannya kau yang membuatku pulang larut malam, kau mengunciku di kamar sehingga aku tak bisa pergi bukan?" protes Erlina tidak terima.

"Bukan," balas Amarlic dingin tanpa merasa bersalah. Merasa tak ada sahutan, Amarlic pun membuka suara lagi.

"Hmm, biarkan aku yang menjelaskan ke bu Ameera, jika kau menemui nenekku dahulu," ucap Amarlic dingin dan datar. Sedangkan Erlina yang mendengar itu pun tersenyum tipis.









#TERIMA KASIH YG SUDAH NGEVOTE CERITA AKU, SUDAH MENDUKUNG AKU SAMPAI KE PART 11 INI.

My Conglomerate Husband (Completed✔)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ