03. Poli-(tikus)

5.9K 1.6K 175
                                    

Dua pemuda itu sekarang berada di lorong sekolah. Berjalan santai menyusuri setiap jengkalnya sambil bercakap-cakap kecil.

"Heh, No. Kelas IPS belum pernah dapat ruangan atas, ya?" tanya Galan yang langsung membuat Rino salah sambung.

Rino pun menoleh, tidak senang dengan pertanyaan itu. "Memang kenapa? Bukannya anak IPA juga kelasnya di bawah?"

Buru-buru Galan memperbaiki kalimatnya. "Bukan itu maksudku ..." Sepertinya Rino tersinggung. Terdengar dari cara dia membalikkan fakta. Tetapi, sungguh. Galan tidak bermaksud mengejek, ia hanya ingin membuka percakapan yang ternyata tidak pas dengan situasi, karena Rino masih membawa amarahnya.

"Aku tidak sedang mengejek, Rino. Kita sama-sama punya kelas di bawah. Yang ingin kutanyakan, apakah kelas tiga nanti, kelas kita masih di bawah?"

Pertanyaan itu langsung membuat Rino menggeleng. "Aku rasa, tidak. Masa iya, tiga tahun kita berada di ruangan bawah?"

"Nah, itu maksudku tadi."

Perlu diketahui, sekolah ini memiliki banyak sekali ruang kelas. Dengan dua lantai di atasnya membuatnya lumayan megah.

Meski demikian, Kelas X1 MIPA A dan X1 IPS B belum mendapat kesempatan tinggal di lantai dua atau tiga. Mereka harus bersabar, karena dua tahun ini Kelas mereka berada di lorong kanan menghadap ke lapangan bola.

Sembari bercakap-cakap kecil, tidak terasa langkah mereka telah memasuki pertengahan lorong.

Dari jarak sepuluh meter, mata Galan menangkap keramaian yang menghadang lajunya. Bukan berandalan tadi, tetapi Para penggila Mading.

Ya, sekolah ini punya julukan khusus untuk para penunggu setia Mading, yakni 'Penggila Mading'.

"Apa ada berita baru hari ini?" Rino menoleh ke Galan yang hanya mengangkat pundak, tidak tahu.

Seperti yang terlihat, Mading dipenuhi puluhan anak manusia yang berdesak-desakan. Berebut tempat agar bisa paling depan.

Tiba di depan Mading, Rino langsung berjinjit. Ia juga ingin tahu, apa kabar dunia per-Madingan satu Minggu ini? Apakah ada topik hangat?

"Ah, topik minggu kemarin." Rino berdecak. "Aku kira topik madingnya sudah diganti."

Galan berjinjit-jintit, ingin memastikan kebenaran yang diucapkan Rino. "Iya, topik Minggu kemarin. Tapi, kenapa mading ini ramai sekali, ya? Padahal beritanya sudah satu Minggu."

Galan mengguncang-guncangkan kepala, memastikan-kalau kondisinya sudah pulih dan tidak salah lihat.

Berita yang diusung oleh OSIS Minggu kemarin masih ramai, satu dua orang masih membicarakan masalah koruptor yang terus saja ada. Bahkan, ada yang saking sengitnya marah-marah sendiri lantaran kesal melihat masalah negara yang dibuat oleh orangnya sendiri.

"Kapan .... Negeri ini bisa maju?" Galan bergumam. Wajahnya menyiratkan betapa lemahnya keadilan negeri ini.

Di tengah hingar bingar mading, gerutunya hilang ditelan kebisingan---hanya Rino yang bisa mendengar gerutuannya.

"Kita sebenarnya tidak kekurangan orang pintar, kita hanya kekurangan orang jujur," kata Rino menanggapi ucapan Galan. Perkataan dari pelawak legendaris Kasino itu mengingatkannya. "Mau bagaimana pun, orang seperti kita---cuma bisa melihat ulah para poli-tikus korup itu," lanjutnya lagi.

Keduanya belum beranjak meninggalkan mading, Galan sedang memandangi berita yang belum lama diedarkan oleh media.

Meski diperingatkan ribuan kali, kelihatannya para koruptor itu tidak ada takut-takutnya. Peraturan negara seperti tidak ada harganya.

"Andai negri kita menerapkan sistem seperti negara China---mungkin para koruptor akan bergidik ketakutan jika sistem China ditetapkan," ujar Galan tanpa menoleh ke arah Rino.

Dahi Rino berkerut. Ia menoleh ke arah Galan. "Memang, China menerapkan peraturan apa?" tanyanya penasaran. Dari dulu ia mengenal China tidak lebih dari negara yang terbesar di atlas dunia. Tidak tahu seluk beluk politik dan kehidupan negara itu.

"Aku pernah membaca buku tentang negara China. Dua tahun sebelum memasuki abad ke 21---pemerintah China pernah dipimpin oleh seorang Presiden yang bernama Zhu Rongji. Kalau tidak salah itu namanya. Dia merupakan salah satu pemimpin paling tegas yang dimiliki negara itu. Di masa kejayaannya, Presiden Zhu Rongji pernah berkata tegas kepada rakyatnya. Kira-kira ucapannya seperti ini, 'berikan saya seratus peti mati, 99 peti akan saya kirim pada para koruptor. Dan satu buat saya sendiri jika melakukan hal itu'," dengan gamblang, Galan menjelaskannya.

"Itu sungguhan?" Rino masih tak percaya dengan fakta negara itu. Pasalnya, dia benar-benar tidak tahu.

Galan menarik senyum tipis, memiringkan wajahnya. "Buat apa juga aku berbohong, Rino."

Rino menggeleng kagum dengan penjelasan Galan. "Andai itu diterapkan di Indonesia. Para tikus-tikus korup itu pasti ketakutan."

Galan hanya tersenyum kecut. "Mana mungkin pemerintah akan melakukan itu?"

Memang kalau dipikir-pikir ada benarnya juga. Pemerintah hanya menegaskan para korup untuk dipenjara. Tanpa hukuman yang membuat nyali mereka menciut---sampai kapanpun keadilan negeri ini hanya seperti permainan bagi penjilat.

"Tunggu aku jadi KPK!" kata Rino tiba-tiba, dengan penuh percaya diri. Entah, habis kesurupan apa dia-mendadak berucap seperti itu.

Galan mendengkus. Tersenyum remeh. "Yang benar saja, No?" Galan tergelak, tidak percaya orang modelan kayak Rino bisa jadi KPK.

"Apa kau meremehkanku?"

Galan melambaikan tangan. "Baiklah ... Simpan omong kosongmu itu." Galan melanjutkan langkahnya. Sambil terkekeh menertawakan Rino.

"Hei, kau tidak percaya padaku?!" Rino berseru, tampaknya Galan benar-benar meremehkannya.

Galan menggeleng. "Aku tidak akan percaya, sebelum kau berhasil membuktikannya." Ia terus berjalan, mengabaikan Rino yang tengah berdiri kesal.

Rino berlari, menjejari langkah Galan. "Kita lihat saja nanti!"

Galan hanya menyeringai, lucu mendengar perkataan Rino.

***

Hello, cerita ini punya bahasa baku yang luarbiasa baku. Buat kalian yang belum terbiasa, tidak mengapa-nanti juga terbiasa.

Kenapa saya buat bahasa baku?
Ya, karena pengen beda aja. Wkwk

Sekian, unek-unek saya. Jika berkenan, silahkan masukkan perpustakaan. Karena karya ini bakal banyak kejutan nantinya.

See you.
Terima kasih.
Arigataou ghozaimas.
Xie-Xie.
Matur Suwon.
Hatur nuhun.

***

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Where stories live. Discover now