74. Ultimatum tiga

1K 525 26
                                    

Mr. Keny telah masuk kelas sepuluh menit yang lalu. Sebelum memulai pelajaran, seperti biasa—alangkah baiknya untuk mengabsen muridnya terlebih dahulu. Ia membuka absen, memanggil muridnya satu persatu.

"Agat leguistman?"

"Present!"

"Bella Rembayang?"

"Present!"

Nama-nama berurutan sesuai abjad mulai bermunculan. Namun, panggilan absen terhenti tepat di list absen nama Galan.

"Galan Anugerah?"

Tidak ada jawaban.

"Galan Anugerah?"

Dua kali Mr. Keny memanggilnya. Namun, tidak ada jawaban. Semua mata menoleh ke bangkunya yang kosong. Tania terdiam, ia juga melirik bangku Galan yang membisu.

"Kemana Galan, ada yang tahu?"

Raka mengangkat tangan, menjawabnya. "Sudah dua hari ini Galan tidak masuk sekolah, Mr. Tepatnya semenjak kebakaran yang melahap seluruh rumahnya malam itu."

Mr. Kenny mengangguk. Bisa mengerti. Ia melanjutkan pemanggilan absennya.

Raka memincingkan mata, melirik bangku Rey di belakang sana. Kebakaran rumah Galan jelas bukan sembarang orang yang melakukannya, apa jangan-jangan ... ini semua perbuatan Rey?

Isi pesan tadi malam cukup meyakinkan kalau ini semua adalah ulah Rey. Tetapi, apakah itu bisa dijadikan sebagai bukti?

Tiga kata dari pesan singkat yang seolah-olah peringatan bagi mereka agar segera mundur. Raka kembali menatap ke depan. Sekejab ia teringat saat pertama kali Rey menantangnya maju ke ketua OSIS, juga saat perkumpulan malam di auditorium—bukankah Rey mau membakar perumahan Galan?

"Hei, benar! Tidak salah lagi—ini pasti kelakuan Rey!" batinnya sembari meremas jemari.

Raka mengangguk-angguk kecil. Benar sekali—ini peringatan ketiga. Tidak salah lagi.

Di sudut ruangan, Rey tersenyum bahagia mendengar kabar itu—yeah, bisa di pastikan Galan tidak akan berani lagi dengan perkataannya yang bisa mengundang bencana.

"Sudah miskin, tambah miskin." Rey bergumam sinis. Ia menarik bukunya, mencoret salah satu kalimat.

"Ultimatum tiga."

***

Pulang sekolah Raka bersama Dito dan Oscar memutuskan ke rumah Galan. Mereka bertiga  membawa mobil Raka yang selalu jadi tumpangan.

Dari jarak sepuluh meter, terlihat bahwa penduduk kampung sedang melakukan gotong royong. Merenovasi rumah, agar layak huni. Meski tidak sebagus yang terlihat, tapi cukuplah untuk berteduh di malam hari.

Entah dari mana mereka mendapat papan-papan itu. Yang jelas, semua orang sedang sibuk, bahu-membahu untuk kebersamaan.

Kedatangan mereka bertiga langsung diterima baik oleh masyarakat. Terutama dari kalangan anak-anak, mereka langsung mengerubungi mobil. Bersorak senang melihat Raka datang.

Namun, kali ini kedatangan Raka bukan untuk mengajari basket mereka. Sama sekali bukan. Raka turun mengeluarkan kardus-kardus yang sudah dipersiapkan dari rumah. Ia tahu, mereka pasti sedang butuh sekali. Maka dari itu Raka dan lainnya berinisiatif untuk ini.

Para warga ikut menyemut, berharap mereka juga dapat. Galan yang sedang di atap rumah bergegas turun.

Saking ramainya, belasan kardus yang dibawa Raka tandas. Tinggal dua bingkisan kardus di tangan Raka, itu khusus untuk Galan. Raka Dito dan Oscar mendekat, Eji berlarian mendatangi mereka.

"Kakak perempuan yang kemarin malam, tidak ikut, Kak?" Tanya Eji, ia tampak cemberut.

"Siapa?" tanya Oscar menerka. "Oh, maksudmu Tania?"

Eji mengangguk.

"Tania tidak bisa ke sini, katanya dia punya urusan di rumah—biasalah, anak perempuan pasti di suruh membantu memasak ibunya." Raka mengacak-acak rambut Eji.

Padahal ia berharap sekali bertemu dengan Kakak perempuan yang waktu itu ke sini. Sebab, ia pernah berjanji kalau akan membelikan baju baru untuknya.

"Tapi, jangan sedih. Tenang saja—ada bingkisan spesial untukmu ...." Raka menyerahkan sebuah kotak kardus kecil kepada Eji.

"Wahhh!" Eji sumringah saat membuka bungkusannya. Yang ternyata seragam baru!

"Itu dari Tania. Dia menepati janjinya bukan?"

Eji mengangguk. Tersenyum lebar. "Terima kasih, Kak!"

"Sama-sama."

Di belakang Eji, Galan dan Rino mendekat, badan mereka compang-camping, wajahnya penuh dengan bekas abu sisa kebakaran. Tampaknya tinggal bara hitam yang tersisa dari kebakaran itu. Pantas saja Galan tidak sekolah, dan Rino—mungkin juga tidak sekolah. Karena beda kelas, Raka tidak tahu itu.

Raka nampak bingung, kardusnya tinggal satu—dan Rino ternyata belum dapat. Ia celingukan pada Oscar dan Dito. "Kurang satu!" bisiknya.

Oscar dan Dito hanya menggaruk kepala, ikut bingung.

"Jangan khawatir, aku sudah dapat. Itu--" Rino menunjuk ayahnya di belakang sana.

"Syukurlah ...." gumam mereka bertiga dalam hati. Sepertinya Rino mendengar bisikan mereka.

Mendadak seluruh warga menghentikan aktivitasnya. Seseorang berseru. "Ayo, kita makan dulu!"

Dari seruan itu, kelihatannya mereka akan makan siang.

Para warga berkumpul di bawah. Yang masih di atas genting pun ikut turun. Tidak anak-anak tidak orang tua, semuanya berkumpul. Dengan bermodalkan daun pisang yang menjadi pengganti piring, mereka melakukan makan siang.

Sebelum makan siang itu dilakukan—seseorang kembali berseru. Bukan kepada para pekerja, melainkan kepada Galan, Raka dan teman-temannya.

"Nak, ayo sini makan! Jangan malu-malu!"

Raka tersenyum canggung. Bagaimana mungkin mereka tidak ikut kerja malah ikut makan. Jelas merasa tidak enak bukan?

"Tidak Pak, terima kasih! Kami sudah makan!" balas Raka setengah berseru.

"Galan, Rino! Ajak teman-temanmu itu kemari!" Karena Raka tetap kukuh. Bapak itu beralih menyuruh Galan dan Rino untuk mengajak Raka dan lainnya agar ikut makan.

"Ayo, kita makan!" Galan menggaet tangan Dito paksa. Tentu saja dia tahu, kalau Dito-lah yang paling suka makan.

"Ayo ...." Sementara Rino, ia juga menarik tangan Oscar.

"Ehh ... Tunggu dulu, tunggu dulu." Oscar menghentikan langkah mereka. Ia menoleh ke Raka yang mematung.

"Raka pasti mau, kalau kalian berdua mau!" celetuk Galan. Ia tidak melepaskan tangannya.

"Tidak ada penolakan pokoknya!" paksa Galan, sebelum Raka memberi alasan.

"Ayolah! Kapan lagi kalian makan di atas daun pisang? Kalian pasti tidak pernah bukan?" Galan tetap menarik paksa, ia tidak mendengarkan gerutuan Oscar dan Raka. "Kalian belum tahu rasanya bukan? Ah, Rasanya lezatt sekali!"

Akhirnya mereka semua sampai di tempat hidangan yang terpapar di atas daun pisang. Tempat itu tidak di bawah terik matahari, tidak ada kursi—atau tempat duduk lainnya. Hanya lesehan di atas tikar. Penduduk membuatnya seperti rumah kecil dengan panjang—di pinggir sawah pedesaan. Hanya saja, kalau di sini letaknya di pinggir sungai.

Ada air di pojok kanan. Dengan ember sebagai wadahnya. Gunanya untuk mencuci tangan, karena mereka tidak makan memakai sendok.

Dito menghirup aroma makanan itu, dari penciumannya sepertinya rasanya lezat sekali. Ada daging, sayur-mayur, jamur di campur jadi satu.

"Eh, dari mana mereka dapat makanan seenak ini?" gerutu Oscar dalam hati.

Namun, pikiran itu segera hilang ketika para warga menyuruhnya duduk dan mulai makan.

***

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Where stories live. Discover now