23. Tentang harga diri

1.4K 649 58
                                    

Setelah pemilihan danton, perbincangan tentang Galan tidak habis-habisnya disuarakan. Seantero sekolah telah mengetahui akan fakta dimana Galan lah yang terpilih menjadi danton.

Banyak dari mereka yang tidak terima, bahkan mencelanya bahwa ia tidak pantas menduduki posisi danton.

Sampai-sampai saking muaknya, mereka mengadu pada Rangkas—si ketua panitia.

Mereka meminta agar danton diganti yang lain.

"Agat, dia lebih baik kak," kata mereka.

"Masa iya, kita dipimpin si miskin itu?!" Yuri bersungut-sungut. Tidak Sudi kalau dirinya dipimpin orang seperti Galan.

Rangkas tidak menghiraukan perundingan mereka, keputusannya sudah final. Apa pun yang dipilihnya tentu bukan hanya kebijakan darinya. Pasti, sudah dirundingkan lebih dulu sama para senior lainnya.

Berita itu kini menjadi pembicaraan paling hangat di seluruh penjuru sekolah.

Tidak terkecuali komplotan Yuri dan Rey yang dari dulu membencinya. Apalagi setelah pemilihan ini, hati mereka serasa berkobar-kobar bak magma yang ingin tumpah.

Namun, dari sekian banyak yang tidak menyetuju—ada beberapa orang yang menerimanya, bahkan men-support nya.

"Mantap, kawan." mereka menepuk pundak Galan, memberi semangat.

"Aku tidak menyangka, orang seperti dirimu bisa jadi Danton." Rino tersenyum miring. Dia sedang mengunjungi Galan di kelasnya.

Galan mengangkat pundak. "Terkadang kita itu tertipu karena menilai orang dari luarnya tanpa melihat sisi lainnya."

Sebetulnya Galan juga canggung dengan mereka yang punya potensi lebih. Seperti Agat, Raka dan lainnya—yang jelas-jelas lebih baik dari dirinya. Namun, dia juga tidak tahu—kenapa justru dialah yang dipilih menjadi Danton.

Jangankan bermimpi, punya keinginan jadi Danton saja tidak pernah dalam benaknya.

Di jam istirahat ini, Galan memilih duduk di bangku kelasnya, membaca buku tentang Presiden Habibie. Ia tidak bosan-bosannya membolak-balik kertas yang sudah menjamur itu. Karena baginya, setiap kalimat yang diucapkan Pak Habibie selalu memotivasi dirinya.

"Hei, Lan!"

Dari arah daun pintu seseorang berseru memanggilnya.

"Biasanya kau tidak ke perpustakaan."

"Agat?" Galan berkerut dahi. Agak aneh memang. Sejak kapan Agat tahu kalau dirinya sering ke perpustakaan?

Biasanya memang Galan langganan ke perpustakaan, tetapi kali ini tidak.

"Hei, juga." Galan membalas, kemudian bertanya. "Kau--tidak bergabung dengan teman-temanmu?"

"Mereka ... tidak tahu kemana." Agat menyengir. "Boleh, aku bergabung dengan kalian?"

"Tentu saja, kawan." Rino menimpali. Menarik kursi di sampingnya. "Siapa yang melarangmu? Ayo, sini duduk." Rino seolah sedang bertemu dengan teman lama, padahal sejak kapan Agat akrab dengan dirinya.

"Thanks." Agat meraih kursi, segera duduk.

Galan memajukan wajahnya. "Kalian dengar? semua tidak setuju kalau aku jadi danton."

"Hei, ayolah. Setidaknya ada yang mendukungmu." Agat melambaikan tangan. Mungkin maksudnya, jangan pedulikan orang lain.

Galan menutup bukunya. "Tapi, antara pro dan kontra, lebih banyak yang kontra." Ia membicarakan topik tentang dirinya yang sedang trending di sekolah.

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz