31. Naik Pitam

1.3K 608 13
                                    

Berbagai warna mobil dan motor berkelebat saking cepatnya. Menghembuskan angin, membuat debu beterbangan—menyesakan napas.

Rino paling rajin mengata-ngatai manusia-manusia pembuat ulah itu. Meski berulang kali, tapi Rino tidak akan bosan mengumpat jika diperlakukan lagi.

Terkecuali Galan, dia sudah bosan mengumpat. Buat apa? Mereka pun tidak akan mendengar apa yang kau katakan.

"Aku bersumpah, jika aku sukses—aku balas perbuatan kalian!" Rino berteriak kalap. Ini adalah sumpah Rino yang kesekian kalinya. Jika dihitung dengan jari, boleh jadi ini yang ke seratus karena saking banyaknya dia bersumpah.

Galan masih terbatuk-batuk, tidak menanggapi apapun. Debu yang berterbangan membuat tenggorokannya tercekat.

Jalan kaki, caci maki ketika pulang sekolah itu hal biasa. Jangan tanya ini yang ke berapa. Tak terbilang.

Dua menit berlalu, debu yang beterbangan sudah reda, kini mereka bisa bernapas dengan lega.

"Apa perlu kita beri pelajaran buat anak-anak sombong itu?" Dendam kesumat Rino kambuh lagi. Kebenciannya telah mendarah daging.

"Tidak perlu."

"Membocorkan ban mobil mereka, misalnya." Rino mengusulkan lagi, ia masih tidak terima rupanya.

"Tidak perlu, Rino!"

"Eh," Rino terperanggah, kedua alisnya bertemu. "Lalu, kita akan diam saja?! Sampai kapan kita akan diperlakukan seperti itu Galan, sampai kita mati?!"

Sebetulnya Galan juga emosi, tapi entah kenapa ia berpikir tidak ada gunanya membalas perlakuan mereka.

Galan menoleh. "Coba pikirkan. Jika kita saling dendam, saling membalas satu sama lain. Apa itu ada gunanya? Apakah dengan begitu, kita akan menjadi lebih baik, iya? Apakah dengan begitu, semua permasalahan akan selesai, iya?" Galan menggeleng.
"Yang ada, justru setan semakin senang jika kita melakukan hal itu!" Galan menanggapinya dengan sedikit emosi.

Rino bersungut-sungut, ia tidak bisa membantah. "Sudahlah, percuma ngomong sama orang sepertimu!"

Rino meneruskan langkah, menutup hidungnya erat-erat dengan lengan baju. Ia jalan lebih dulu, meninggalkan Galan di belakang.

Galan mengangkat pundak, dia tahu persis kalau Rino lagi jengkel. Dengan mengunci mulutnya. Dan itu pasti.

Dia berjalan di belakang Rino—membiarkan temannya yang tengah membisu jalan duluan. Sebentar lagi juga sembuh.

"Jika kau berhasil jadi KPK, apa yang akan kau lakukan?" Galan teringat, beberapa waktu lalu—Rino pernah bilang kalau dia mau jadi KPK. Galan ingin tahu apa rencananya.

"Menjebloskan koruptor ke jeruji penjara?" Galan menebak. Lalu, berdecak. "Itu sudah kuno!"

Rino mendongak. Tampaknya dia terpancing oleh pertanyaan Galan. Meski tidak ada sepatah katapun yang terucap. Galan tidak akan diam. Dia berusaha untuk terus berbicara, membujuk Rino agar hatinya meleleh. Membicarakan cita-cita Rino, misalnya.

Sesaat Rino terdiam, dia jadi kepikiran tentang cita-cita yang dulu pernah dia katakan.

Trotoar yang mereka pijaki penuh debu, daun-daun kering, juga sampah makanan yang berserakan. Entah kenapa masyarakat Ibu Kota suka sekali membuang sampah sembarang.

Galan menjejari langkah Rino yang masih membisu. "Kau tahu, aku sudah tidak kerja lagi, Rino." Galan sengaja berganti topik pembicaraan.

"Apa? jadi kau berhenti kerja di laundry itu?!" Pernyataan Galan membuat Rino terkejut bukan main.

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Where stories live. Discover now