65. Taring si pendiam

1.1K 554 54
                                    

Dito dan Oscar tidak habis pikir dengan temannya satu itu, bagaimana mungkin dia membela orang yang jelas-jelas berandalan sekolah? Keduanya sedang melirik Agat dengan tatapan heran.

Raka lebih-lebih, ia greget sekali dengan Agat-bukan karena ia dikalahkan, akan tetapi lantaran kemarin dibohongi dua kali. Benar-benar menjengkelkan. Siapa juga yang tidak jengkel kalau dipermainkan?

Agat yang sudah pindah tempat duduknya di belakang sana-tidak mempedulikan tatapan teman-temannya. Ia asik bersenda gurau dengan teman baru, dengan suasana baru. Ada Yuri juga di sana, ia terlihat senang sekali karena bisa dekat dengan Agat. Dengan bergabungnya Agat, ia jadi leluasa untuk mendekatinya. Mungkin itulah tujuannya ikut OSIS.

Berbagai usaha untuk mendesak Agat agar menjelaskan semuanya, batal. Di kantin, di rumah, di dalam kelas sekalipun Raka dan lainnya tidak bisa mendatangi Agat, atau sekedar berbincang kecil, tidak bisa.

Galan juga demikian. Sebetulnya ada sebersit unek-unek yang ingin ditanyakan. Namun, karena Rey dan antek-anteknya tampak tengah mengawasi, Galan memilih diam-menunggu waktu yang tepat.

"Sebenarnya ada apa dengan Agat, sampai-sampai dia mau bergabung dengan komplotan itu?" tanya Tania heran. Sedari tadi ia memandangi Agat di kursinya.

Galan mengangkat bahu. "Entahlah, Agat pasti punya alasan tersendiri-mengapa dia bergabung dengan gerombolan Rey, aku yakin itu," ujar Galan dengan tatapan yang masih tertuju ke genggaman buku.

Rey dan lainnya mendadak tertawa terbahak-bahak, membuat semua mata menoleh, merasa terganggu. Yuri terlihat senang sekali karena bisa dekat dengan Agat.

Sesaat, ada yang aneh, ketika semua komplotan itu tertawa-Agat juga ikut tertawa, tapi hambar-dan itu kentara sekali.

"Lihatlah Agat." Tania menyikut Galan yang duduk di sebelahnya. "Ada yang aneh."

Dari semua teman-temannya, Tania-lah yang paling perhatian sama Agat. Entah, simpati entah karena ada rasa. Tidak ada yang tahu soal itu.

Galan menoleh sekilas. Agat tampak diam, tersenyum kecut membalas setiap mata yang menyorotinya.

"Biarkan sajalah, itu hak dia." Galan kembali ke bukunya. Ia sedang fokus, tidak mau diganggu.

Sejak kekalahan mereka, Agat jadi ikutan angkuh. Tidak mau menyapa, ataupun berbaur dengan orang lain. Tidak tahu apa yang membuat ia bisa berubah secepat itu.

"Semua berdiri!" Ketua kelas berseru. Mr. Kenny masuk, semuanya berdiri. Galan menutup bukunya-menyimpannya di laci meja.

Yuri mendengkus. Salah satu pelajaran yang sangat ia tidak sukai dan menguras otak, kini hadir lebih awal dan lebih lama. Yuri berjalan malas, kembali ke kursinya.

***

Dua jam matematika, setara dengan lima jam pelajaran bahasa Indonesia. Terasa lama sekali. Sepertinya jam berjalan lebih pelan dari biasanya.

Setelah dua jam berfikir keras dengan rumus, akhirnya bel istirahat berbunyi. Seruan lega terdengar keras, apalagi Yuri-dia senang sekali.

Puluhan anak manusia langsung bertebaran keluar dari kelas. Ini adalah acara mereka untuk mendinginkan kepala. Untung pemerintah membuat kebijakaan jam istirahat. Jika tidak, bisa-bisa kepala mereka meledak-kebanyakan rumus.

Galan, Rino, Raka dan lainnya bergerak ke arah kantin. Dari luar, kelihatan sekali kalau kantin hari ini lebih ramai dari biasanya. Begitu masuk, benar-deretan kursi meja terisi penuh, tapi untungah dipojokkan masih kosong. Mereka bersicepat sebelum ada yang menempati.

Galan mengedarkan pandangannya, tidak ada Rey dan komplotannya. Suara riuh rendah bersahut-sahutan. Ada yang tertawa terbahak-bahak, ada pula yang hanya diam-menikmati makanannya.

Mereka duduk. Dito bergegas memesan makanan ke belakang, lalu kembali lagi-duduk di sebelah Oscar dan Rino.

Sudah bukan rahasia umum jika Galan dan Rino selalu ditraktir teman-temannya. Gara-gara itu, kini mereka jadi pelanggan tetap di kantin. Meskipun Rino menolak ikut OSIS, tapi kalau diajak ke kantin-ya, tidak akan menolak. Siapapun, kalau ditraktir-selagi perut masih muat-pasti tidak akan menolak. Nah, begitu pula Rino.

Tidak lama kemudian, pesanan datang. Cak Mamat segera menurunkan lima mangkuk bakso sekaligus. Kemudian kembali ke dapur lagi. Ada banyak pesanan yang musti dia urus. Jadi cepat-cepat ia kembali, sebelum semakin bertambah pesanannya.

Persahabatan mereka semakin kuat. Raka yang dulu tidak mengenalnya-sekarang justru sebaliknya-seperti sahabat karib yang tidak bosan-bosannya mentraktir, mengantar Galan dan Rino pulang.

Lantaran pemilu OSIS tahun ini, Galan menjadi pusat perhatian sekolah. Setiap sudut mata tak lekang dari pandangannya.

Jika Galan melintas, bisikan-bisikan kecil selalu saja mengikutinya. Pun sekarang, saat makan di kantin ini. Bisikan-bisikan itu semakin terdengar jelas di telinga.

"Kalian dengar itu?" Galan menghentikan kunyahan bakso di mulut. Juga Raka, Dito dan lainnya.

Sekumpulan anak perempuan di belakang tengah membicarakan prihal Pemilu. Padahal, Pemilu itu sudah lewat-dan sudah jelas Rey yang menang. Hanya saja belum diumumkan.

Jika didengarkan baik-baik, banyak dari mereka-yang tidak menyangka kalau Rey akan menang.

Tiga orang perempuan itu mengobrol santai sambil menghabiskan makanan di mangkuknya.

"Bagaimana, ya? Mereka sama-sama kuatnya," ungkap salah satu dari mereka.

"Sebetulnya lebih kuat pendukung Raka dan Galan. Namun ... Yeah, kalian tahu sendiri-keduanya punya kelemahan juga."

"Dari pada Rey, yang hanya mengandalkan Agat sebagai pendobrak dukungan. Lebih baik milih Raka sama Galan."

Tiba-tiba seseorang datang membawa segelas es teh. "Raka juga punya kelemahan Neneng Markoneng! Kau tidak lihat-Si Miskin itu menghancurkan reputasinya! Andai saja Raka menggandeng Agat, ah ... Aku yakin mereka menang!"

Galan terhentak, siapa yang tidak hafal nada bicara yang tajam itu. Berkali-kali Galan bersikap tidak peduli dengan perkataannya-tapi kali ini-tampaknya ia tidak tahan lagi. Ingin rasanya menampar orang yang seenak jidat menilai dirinya.

Dengan amarah yang memuncak, Galan bangkit. Namun, lagi-lagi-Rino dan Raka menahan lengannya. Galan menikam Yuri dengan sorot mata tak biasa. Yuri yang merasakan aura amarah Galan-hanya tersenyum remeh melihatnya.

Galan mengatur nafas, mengontrol emosinya. "Bukan karena kemiskinanku yang menghancurkan reputasi kami. Tapi, karena kalian licik!" Galan menunjuk Yuri dengan bengis.

Kontan teriakan Galan mendatangkan semua pandangan orang-orang yang ada di kantin. Tidak terkecuali Cak Mamat-ia langsung menghentikan tangannya yang sedang menyendok bakso ke mangkuk.

Yuri berdiri, bersidekap. Angkuh sekali. "Oh, jadi kau tidak mau mengakui fakta itu? Semua orang juga tahu, Galan. Kalau kau---"

Belum habis kalimatnya, Galan melotot, mengangkat mangkuknya. Ia sungguh kehilangan kendali sekarang. Sepersekian detik kemudian, emosinya meledak. Kuah bakso ditangannya terlempar begitu saja, dan sukses menghantam muka Yuri.

"Ahhh! Panas! Panas! Panasss!" Kontan Yuri menjerit, kepanasan. Ia minta tolong kepada teman-temannya untuk mencarikan air, tisu atau-apapun itu yang bisa menghilangkan panas diwajahnya.

Spontan kegaduhan merebak dikantin. Semua orang saling pandang. Teman-teman Yuri heboh mencarikan air buat Yuri. Mereka ke sana ke mari, berpencar mencari air.

Salah satu dari mereka bertanya pada Cak Mamat. "Cak, ada air bersih tidak?!" Ia bertanya gugup.

"Ada. Tapi--air kobokan?" jawab Cak Mamat seraya menunjuk air di pojok pintu.

"Tidak apa-apa. Saya minta semuanya." Dikarenakan tidak ada air lagi. Mau ke toilet juga jauh. Jadi, air kobokan adalah satu-satunya pilihan. Ia mengangkat satu baskom air keruh tersebut, lalu menyiramnya kemuka Yuri.

Byurr!!

Galan, ia masih bediri mematung-dengan tatapan mendelik. Sedangkan, teman-temannya melongo, menahan tawa. Mereka tidak bisa mencegah Galan, itu diluar dugaan. Siapa sangka kalau Galan akan melakukan hal itu kepada Yuri? Sungguh gentleman.

Untuk pertama kalinya, Galan menampakkan taringnya-di tengah khalayak ramai.

***

Bangkitnya Sang Pusaka (Completed)Where stories live. Discover now